BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan anak penting dijadikan perhatian khususnya bagi orangtua. Sebab, proses tumbuh kembang anak akan mempengaruhi
kehidupan mereka pada masa mendatang.
Jika perkembangan anak luput dari perhatian orangtua (tanpa arahan dan
pendampingan orangtua), maka anak akan tumbuh seadanya sesuai dengan yang hadir
dan menghampiri mereka. Dan kelak, orangtua juga yang akan mengalami penyesalan
yang mendalam.
Dampak negatif dari perkembangan anak yang kurang perhatian dari orang
tuanya adalah anak menjadi nakal dan susah diatur. Dan dampak lain yang
ditimbulkan adalah perusakan moral yang dialami anak yang kemungkinan
diakibatkan dari salah bergaul dan berteman. Dan akhirnya, anak-anak inilah
yang membawa dampak buruk bagi teman-temannya.
Salah satu perusakan atau penurunan moral yang dialami anak-anak pada saat
ini adalah dengan melihat video yang seharusnya belum pantas ditonton pada
usianya. Perilaku negatif ini juga disebabkan dari perkembangan teknologi
khususnya internet. Yang akibatnya, akan menurunkan prestasi belajar anak
disekolah. Di sinilah
di perlukannya pendidikan dan pengasuhan yang memadai.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah tahap perkembangan
anak?
2.
Bagaimana hubungan antara
perkembangan anak dengan pendidikan dan pengasuhan?
3.
Lalu bagaimana pula implikasi
tahap perkembangan anak terhadap pendidikan dan pengasuhan?
C. Tujuan
Agar
kita dapat mengetahui bagaimana atau apa-apa saja tahap perkembangan seorang
anak, bagaimana hubungan perkembangan tersebut dengan pendidikan dan pengajaran
serta bagaimana pula implikasinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. TAHAP PERKEMBANGAN ANAK
Sangatlah tidak bisa dipisahkan mengenai perkembangan
dan pertumbuhan anak saat lahir. Perkembangan motorik dan fisik anak sangatlah
berhubungan dengan pertumbuhan psikis anak. Oleh karena itu psikologi
perkembangan anak usia dini berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak
secara menyeluruh.
Anak akan
mengalami suatu periode yang dinamakan sebagai masa keemasan anak saat usia
dini dimana saat itu anak akan sangat peka dan sensitif terhadap berbagai
rangsangan dan pengaruh dari luar. Laju perkembangan dan pertumbuhan anak
mempengaruhi masa keemasan dari masing-masing anak itu sendiri. Saat masa
keemasan, anak akan mengalami tingkat perkembangan yang sangat drastis di mulai
dari perkembangan berpikir, perkembangan emosi, perkembangan motorik,
perkembangan fisik dan perkembangan sosial. Lonjakan perkembangan ini terjadi
saat anak berusia 0-8 tahun, dan lonjakan perkembangan ini tidak akan terjadi
lagi di periode selanjutnya. Saat perkembangan anak khususnya saat perkembangan
dini, orang tua harus betul-betul menjadikannya sebagai perhatian khusus,
karena hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak di masa
yang akan datang.
1. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif anak terbagi ke dalam beberapa
tahap:
- Tahap Sensorimotor, pada tahap ini kemampuan anak hanya pada gerakan refleks, mulai mengembangkan kebiasaan-kebiasaan awal, mereproduksi berbagai kejadian yang menurutnya menarik, mulai menggunakan berbagai hal atau peralatan guna mencapai tujuannya, melakukan berbagai eksperimen dan anak sudah mulai menemukan berbagai cara baru. Tahap sensorimotor terjadi saat usia 0-2 tahun.
- Tahapan Pra-operasional, pada tahap ini anak mulai menerima berbagai rangsangan yang masih terbatas, kemampuan bahasa anak mulai berkembang, meskipun pola pikirnya masih bersifat statis dan masih belum mampu untuk berpikir secara abstrak, persepsi mengenai waktu dan tempat masih tetap terbatas. Tahap pra-operasional berkembang saat usia anak 2-7 tahun.
- Tahap Konkret Operasional, pada tahap ini anak sudah bisa menjalankan operasional dan berpikirnya mulai berpikir secara rasional. Dalam tahap ini tugas-tugas seperti menyusun, melipat, melakukan pemisahan, penggabungan, menderetkan dan membagi sudah dapat dilakukan oleh anak. Tahap konkret operasional berlangsung pada usia 7-11 tahun.
- Tahap Formal Operasional, dalam tahap ini anak sudah mulai beranjak sebagai seorang remaja. Dalam tahap ini, anak sudah mulai berpikir secara hipotetik, yaitu penggunaan hipotesis yang relevan sudah dilakukan anak guna memecahkan berbagai masalah. Sudah mampu menampung atau berpikir terhadap hal-hal yang menggunakan prinsip-prinsip abstrak, sehingga anak sudah bisa menerima pelajaran-pelajaran yang bersifat abstrak seperti matematika, agama dan lain-lain.
2. Perkembangan Fisik Motorik
Berkaitan
dengan perkembangan fisik, Kuhlen dan Thomphson (Hurlock, 1956) mengemukakan
bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek, yaitu (1) Sistem
syaraf, yang sangat mempengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi; (2)
Otot-otot, yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik; (3)
Kelenjar endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru,
seperti pada usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu
kegiatan yang sebagian anggotanya terdiri dari lawan jenis dan; (4) Struktur
fisik/tubuh, yang meliputi tinggi, berat dan proporsi.
Aspek fisiologis
lainnya yang sangat penting bagi kehidupan manusia adalah otak. Otak dapat
dikatakan sebagai pusat sentral perkembangan dan fungsi kemanusiaan. Otak juga
memiliki pengaruh baik dalam keterampilan motorik, intelektual, emosional, sosial,
moral maupun kepribadian.
Semakin
matangnya perkembangan sistem syaraf otak yang mengatur otot memungkinkan
berkembangnya kompetensi atau keterampilan motorik anak. Keterampilan motorik
dibagi menjadi dua jenis, yaitu (1) Keterampilan motorik halus, seperti
keterampilan kecekatan jari, menulis, menggambar, menangkap bola dan
sebagainya; (2) Keterampilan motorik kasar, meliputi kegiatan-kegiatan otot
seperti berjalan, berlari, naik dan turun tangga, melompat dan sebagainya.
Perkembangan
keterampilan motorik merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan
pribadi secara keseluruhan.
3.
Perkembangan Bahasa
·
Periode prelingual, usia anak 0-1 tahun, ciri utama adalah anak mengoceh
untuk dapat berkomunikasi dengan orang tua, anak masih bersifat pasif saat
menerima stimulus dari luar tapi anak akan menerima respon yang berbeda.
Contoh: bayi akan senyum kepada orang yang dikenalnya dan menangis kepada orang
yang tidak dikenal dan ditakutinya.
·
Periode Lingual, usia antara 1-2,5 tahun, dalam tahap ini anak sudah
mampu membuat sebuah kalimat, satu atau dua kata dalam percakapannya dengan
orang lain.
·
Periode Diferensiasi, usia anak 2,5 - 5 tahun, anak sudah memiliki
kemampuan bahasa sesuai dengan peraturan tata bahasa yang baik dan benar. Permbendaharaan katanya sudah berkembang
secara baik dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
4.
Perkembangan Sosio
Emosional (Menurut Erik Erikson)
a.
Basic Trust vs Basic Mistrust (Kepercayaan vs
Ketidakpercayaan)
ð Periode
Perkembangan : masa bayi (tahun pertama).
Ialah tahap Psikososial pertama menurut Erikson yang
dialami dalam tahun pertama kehidupan. Suatu rasa percaya menuntut perasaan
nyaman secara fisik dan sejumlah kecil ketakutan serta kekhawatiran akan masa
depan. Peran orang tua sangat dibutuhkan untuk tanggap dan peka karena pada
tahap ini, individu yang memiliki rasa percaya cenderung untuk memiliki rasa
aman dan memiliki rasa percaya diri untuk mengeksplorasi lingkungan yang baru.
Anak-anak yang memasuki sekolah dengan rasa tidak percaya dapat mempercayai
guru tertentu yang meluangkan banyak waktu untuk membuat dirinya sebagai orang
yang dapat dipercayai.
b.
Autonomy vs Shame and Doubt (Otonomi vs Rasa Malu dan
Ragu-ragu)
ð Periode
Perkembangan : masa bayi (tahun kedua)
Setelah memperoleh kepercayaan diri pengasuh atau orangtua
mereka, individu mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah milik mereka
sendiri, menyadari kemauan mereka. Otonomi dibangun atas perkembangan kemampuan
mental & motorik (otonomi = kemandirian).
Bila tahap ini terlalu banyak dibatasi atau dihukum
terlalu keras, maka cenderung mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu. Pada usia
ini, anak mencoba untuk mandiri yg secara fisik dimungkinkan oleh kemampuan
mereka untuk berjalan, lari dan berkelana tanpa dibantu orang dewasa lagi.
Dengan kebebasan ini, anak masuk dalam periode menjelajah/eksplorasi. Beberapa
hal dapat dicapai dalam periode ini, seperti keberanian untuk menjelajah,
insting untuk menentukan arah sendiri. Pokoknya pada periode inilah kemampuan
anak untuk percaya diri dikembangkan.
c.
Initiative vs Guilt (Prakarsa vs Rasa Bersalah)
ð Periode
Perkembangan : masa awal anak-anak (tahun pertama pra-sekolah 3-5 tahun).
Ketika anak-anak sekolah menghadapi dunia sosial yang
lebih luas, mereka lebih tertantang dan perlu mengembangkan perilaku yang
bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini. Anak-anak belajar berbuat
terhadap lingkungannya sebelum ia mampu berpikir mengenai apa yang sedang ia
perbuat / intelegensi dasar dimiliki anak tersebut kelak. Pada tahap ini
anak-anak belajar secara praktis dengan keterampilan-keterampilan perseptual,
motorik, kognitif dan kemampuan bahasa yang mereka miliki untuk melakukan
sesuatu.
Bagi Erikson, masa usia 3 sampai 6 tahun, ini adalah
fase bermain. Dalam fase inilah anak-anak belajar berfantasi, belajar mentertawakan
diri, mulai belajar bahwa ada pribadi lain selain dirinya. Pada fase ini
terletak fondasi anak untuk menjadi kreatif yang akan menjadi sangat penting
pada fase berikut. Pada saat yang sama, kalau pada fase sebelumnya, anak perlu
menciptakan sense of identity sebagai seorang manusia dan kepercayaan untuk
melakukan eksplorasi sendiri, maka pada fase ini yang harus diciptakan adalah
identitas diri macam apa, terutama sehubungan dengan jenis kelamin mereka. Anak
belajar menjadi lelaki atau perempuan bukan hanya dari alat kelamin tapi juga
dari perlakuan sekeliling pada mereka. Fase inilah konon yg berperanan besar
dalam menentukan identitas ini karena pengaruh kelamin mulai dirasakan secara
psikologis: Anak lelaki menjadi lebih sayang pada ibu dan tidak begitu senang
pada bapak sementara anak perempuan menjadi dekat dengan bapak dan merasa disaingi ibu.
Apa yang bisa dilakukan orang tua untuk merusak fase ini?
Salah satunya adalah dengan merampok masa bermain anak dengan menyuruh mereka
belajar lebih dulu dari teman-teman seumur. Anak mulai didisiplinkan untuk
menghafal angka, abjad dan menulis bagus supaya lebih pandai dari yg lain.
d.
Industry vs Inferiority (Tekun vs Rasa Rendah Diri)
ð Periode
Perkembangan : masa pertengahan dan akhir anak-anak (tahun-tahun sekolah, 6 tahun & pubertas).
Periode ini individu / anak berpikir intuisif /
berpikir mengandalkan ilham, anak-anak berimajinasi memperoleh kemampuan 1
langkah berpikir mengkoordinasi pemikiran & idenya dengan peristiwa
tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri. System of Operations / 1 langkah
berpikir merupakan dasar terbentuknya intelegensi intuitif. Erikson yakin guru
mempunyai tanggung-jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak, guru
secara lembut tetapi tegas memaksa anak-anak / individu ke dalam pencarian
untuk menemukan bahwa seseorang dapat belajar mencapai sesuatu yang tidak ia
pikirkan sendiri (perkembangan kognitif ditinjau dari sudut karakteristiknya
sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa).
Yang berbahaya pada tahap ini adalah perasaan tidak
kompeten dan tidak produktif. Sama seperti binatang muda, sesudah merasa
tenteram dekat mama-papa, maka pada saatnya mereka mulai pergi ke alam untuk
mengenalnya secara instingtif. Manusia mudapun demikian. Apabila sampai sekitar
6 tahun anak-anak masih melakukan eksplorasi tentang diri sendiri, maka selewat
usia itu anak secara instingtif mulai melihat ke luar dan perkembangannya mulai
berhubungan dengan dunia luar. Pada usia 6 tahun, anak mulai ke dunia di luar
rumah seperti, sekolah, tetangga. Dunia luar menjadi tempat untuk tumbuh,
terutama karena pada saat inilah mereka baru benar-benar mulai mampu
berkomunikasi dengan anak lain sehingga mereka mulai bisa membentuk kelompok.
Pada masa-masa ini tidak ada hal relatif, yang ada hanyalah kemutlakan. Semua
penjahat berbaju hitam dan berwajah kotor. Pahlawan berwajah bersih, dan
bajunya terang. Kelompok saya adalah kelompok lelaki dan kami benci/tidak
menerima perempuan (dan sebaliknya), orang dewasa selalu benar dan guru tahu
segalanya. Pada usia ini anak-anak juga sangat tertarik untuk belajar, dan
sangat sulit untuk berdiam diri.
Mereka belajar segala sesuatu, terutama yang
berhubungan dengan fisik seperti olahraga, berlari, berenang, mengumpulkan
segala sesuatu dan mengembara sampai ke batas yang disetujui. Anak-anak yang
melalui fase ini dengan baik akhirnya akan memperoleh ganjaran dengan
mendapatkan sense of mastery, suatu keyakinan bahwa mereka mampu menguasai
masalah yg mereka hadapi. Syaratnya adalah bahwa orang-orang dewasa yg mereka
hormati seperti orang tua harus mendukung kegiatan yg banyak ini karena dari
dalam setiap anak memang ada keinginan untuk mengerti dan menguasai lingkungan
mereka. Kesulitan bagi anak terjadi ketika ortu tidak mau repot dan cenderung melarang
anak kemana-mana sehingga tidak terlalu merepotkannya. Orang tua yg terlalu
lelah karena bekerja dan ingin anaknya diam, sopan dan tenang, juga merugikan
pertumbuhan anaknya. Bila ini terjadi cukup lama sehingga anak memperoleh
kebiasaan untuk nonton tv daripada mempelajari hal-hal di lingkungan mereka,
maka anak-anak ini kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi mereka.
Pada anak ini, sense of mastery diganti oleh rasa rendah diri (inferiority)
yang sangat berdampak pada masa-masa yang akan datang. Anak-anak yang penuh
rendah diri ini lebih sulit merasakan adanya kemampuan mereka untuk
mengembangkan kompetensi dalam bidang yang penting. Orng tua yg sangat takut
akan lingkungan yang tidak aman sering mengurung anak di rumah, dan memberikan
TV, atau Play Station. Hal ini sangat disayangkan karena pada usia inilah anak
paling siap untuk belajar secara aktif. Untuk orang tua semacam ini, sebaiknya
membahas hal ini dengan guru anaknya karena sebenarnya pengaruh guru sangat
besar pada masa-masa ini. Karena itu pula pilihan sekolah dasar sangat penting,
bukan hanya karena bangunan dan fasilitasnya tapi juga harus melihat guru yg
akan sangat mempengaruhi kompetensi yg tercipta.
e.
Ego-Identity vs Role Confusion (Identitas Diri vs
Kekacauan Peran).
ð Periode
Perkembangan : Masa Remaja 12 - 18/20 tahun.
Pada tahap ini remaja atau individu dihadapkan pada
temuan siapa mereka? Bagaimana mereka nantinya? Kemana tujuan mereka? Menuju
dalam kehidupannya, penjajakan pilihan-pilihan alternatif terhadap peran karir
merupakan hal penting.
Pada tahap ini remaja memiliki kemampuan mengkoordinasikan
baik secara serentak atau berurutan, 2 ragam kemampuan kognitif, yaitu:
a. Kapasitas menggunakan hipotesis.
b. Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, logis
dan idealisitk (berpikir tentang pemikiran itu sendiri).
Anggapan dasar seorang remaja akan berpikir hipotesis
yakni berpikir mengenai sesuatu khususnya dalam pemecahan masalah dengan
menggunakan dasar yang relevan dengan lingkungan yang ia respon, memiliki
perhatian ke masa depan, etika ideal, dsb.
Guru & orang tua mengetahui bahwa kecerdasan itu
melibatkan interaksi aktif antara siswa dengan dunia disekitarnya. Oleh
karenanya lingkungan siswa, seperti rumah tinggal, seyogyanya ditata
sebaik-baiknya agar memberi efek positif terhadap perkembangan intelegensi
anak. Terjadi proses asimilasi (info baru digabung dalam pengetahuan yang ada)
yang merupakan pergolakan kognitif yang tajam. Sekolah sebagai
pelatihan-pelatihan intelektual, mempertahankan orientasi-orientasinya pada hal
yang komprehensif yang dirancang untuk melatih remaja secara intelektual
seperti kejuruan & sosial, dalam perkembangan fisik, kognitif dan sosial
orang tua dan guru harus terus memantau agar meningkatkan kemandirian remaja
tertantang secara intelektual oleh tugas akademis dan menciptakan lingkungan
yang positif bagi perkembangan sosial dan emosional sebagai sesuatu yang secara
intrinsik penting dalam sekolah bagi remaja.
Fase ini sebenarnya adalah sumber utama Erikson
sehingga dia tertarik untuk mengembangkan teori Perkembangan psikososisalnya.
Tugas kita pada periode ini
mungkin
adalah yang terpenting, yaitu puncak dari semua yang selama ini sudah kita
lalui dan yang akan kita gunakan untuk "mengarungi bahtera hidup"
yakni menciptakan Identitas Diri bagi kita. Kegagalan kita akan menciptakan
kerancuan identitas atau peran. Apakah Identitas diri ini? Tak lain adalah
mengenal siapa diri kita sesungguhnya dan bagaimana diri ini melebur dengan
masyarakat di sekeliling kita.
Menciptakan Identitas Diri yang benar adalah
mengumpulkan semua pengetahuan yang kita kumpulkan sampai saat itu, dan
menggabungkan semuanya menjadi suatu citradiri yang berguna bagi masyarakat.
Apakah faktor terpenting supaya tercipta Identitas Diri yang sehat dan berguna
bagi masyarakat ini? Salah satu faktor penting yang akan menentukan Identitas
Diri ini adalah hadirnya Role Model di dalam masyarakat di mana kita hidup,
yakni seseorang yang bisa dijadikan contoh.
Kehadiran orang tua, atau guru yang hebat, menjadi sangat
penting. Faktor penting lainnya adalah adanya kejelasan bagaimana kita
melangkah meninggalkan masa anak-anak menuju kedewasaan. Di suku Indian
tertentu, anak dianggap dewasa setelah dia berhasil pergi ke padang rumput dan
membawa pulang bulu elang, ekor kerbau atau tengkorak hyena. Di suku-suku
Afrika, sunat adalah tanda bagi remaja lelaki yang sudah dianggap dewasa dan
ternyata memang berguna secara fisik karena lebih "bersih". Remaja
wanita di Afrikapun disunat, istilah modernnya adalah Female Genital
Mutilation, walaupun manfaatnya bagi wanita kurang jelas. Intinya, yang penting
ada suatu upacara yang dengan jelas menunjukkan pada umum bahwa anak sudah
bukan anak lagi tetapi sudah menjadi dewasa dan dia dituntut untuk berlaku
dewasa.
Identitas Diri bisa menjadi ekstrim bila para orang
dewasa yang mengelilingi kita menekankan bahwa tidak ada kompromi untuk suatu
hal, dan kita berakhir dengan menjadi fanatik. Yang paling sering difanatikkan
adalah faktor agama atau etnik tertentu. Remaja fanatik tidak diizinkan melihat
pilihan lain dan identitas dirinya dibanjiri oleh dominasi faktor ini.
Harus kita ingat bahwa remaja baru saja meninggalkan stage ke 4 di mana
mereka tidak melihat adanya relatifitas, yang ada hanya kemutlakan. Mereka yang
berhasil memperoleh Identitas Diri yang sehat mencapai suatu keadaan yang
dinamai Fidelity oleh Erikson, yaitu suatu kelegaan karena kita mengenal siapa
diri kita, tempat kita dalam masyarakat dan kontribusi macam apa yang kita bisa
sumbangkan untuk masyarakat. Sebaliknya, mereka yang gagal memiliki suatu
Identitas Diri akan gelisah karena tidak jelasnya identitas mereka. Orang-orang
ini bisa menjadi "drifter", si pengembara, atau si penolak (mereka
bisa menolak untuk punya identitas, menolak definisi masyarakat tentang anggota
masyarakat dll) dan mereka hidup sendiri bahkan ketika ada di tengah
masyarakat.
Parahnya adalah seringkali identitas kelik ini akan
bertahan sampai kita tua karena citra diri dibangun berdasarkan definisi yang
dibentuk oleh kelik.
f.
Intimacy vs Isolation (Keintiman vs Pengasingan)
ð Periode
Perkembangan : masa awal dewasa (18/19 - 30 tahun).
Individu menghadapi tugas perkembangan pembentukan
relasi yang akrab dengan orang lain, Erikson menggambarkan keakraban sebagai
penemuan diri sendiri, tanpa kehilangan diri sendiri pada orang lain. Pada
periode ini, individu termotivasi untuk berhasil melalui perkembangan sosial.
Orang tua / guru memiliki implikasi penting pada
kematangan mereka (kemandirian & kebebasan).
Perkembangan emosional, intelektual dan sosial. Pada
usia ini, kita sudah bukan lagi anak-anak atau remaja, tetapi pemuda atau
pemudi. Kita sudah dianggap dewasa dan kita dituntut untuk bertanggung jawab
penuh atas segala keberhasilan dan kegagalan kita. Tugas kita pada periode ini
adalah mengenal dan mengizinkan diri kita untuk mengenal orang lain secara
sangat dekat, atau masuk ke hubungan yang intim sedang kegagalan kita akan
membuat kita terisolasi atau mengisolasi diri dari sekeliling kita. Keintiman
dapat terjadi karena kita telah mengenal diri kita dan merasa cukup aman dengan
identitas diri yang kita miliki. Akibat dari rasa aman ini adalah mengizinkan
orang lain untuk sharing dengan kita melalui hari-hari dan malam-malam kita,
mengenal kelebihan dan kekurangan kita. Jadi, pada pokoknya Intimacy adalah
hubungan dua orang yang sudah matang dan mengenal diri masing-masing dan
menciptakan suatu kesatuan yang menghasilkan karya-karya yang lebih besar.
Kehidupan modern yang mewarnai kota-kota besar,
seringkali tidak mengijinkan kita untuk menjalani masa pembentukan intimacy ini
dengan baik. Mobilitas seperti sekolah ke luar negeri dari satu kota ke kota
lain, penugasan dari kantor ke daerah-daerah dan perpindahan yang kita lakukan
karena janji karir yang lebih baik, adalah hal-hal yang menyulitkan kita dalam
menemukan orang yang tepat bagi kita untuk berintimacy. Akibatnya, sebagai
ganti dari intimacy adalah hubungan yang sangat superficial, didasari bukan
keinginan untuk menyatu dan menciptakan suatu hubungan yang sehat tapi hanya
untuk menghilangkan kesepian.
g.
Generativity vs Stagnation (Perluasan vs Stagnasi).
ð Periode
Perkembangan : masa pertengahan dewasa (antara pertengahan 20-an tahun sampai
50-an).
Memberikan
asuhan, bimbingan pada anak-anak, individu generatif adalah seseorang yang
mempelajari keahlian, mengembangkan warisan diri yang positif dan membimbing
orang yang lebih muda.
Tugas kita dalam fase ini adalah mengembangkan
keseimbangan antara generativity dan stagnasi. Generativity adalah rasa peduli
yang sudah lebih dewasa dan luas daripada intimacy karena rasa kasih ini telah
men"generalize" ke kelompok lain, terutama generasi selanjutnya. Bila
dengan intimacy kita terlibat dalam hubungan di mana kita mengharapkan suatu
timbal balik dari partner kita, maka dengan generativity kita tidak
mengharapkan balasan. Misalnya saja, sebagian sangat besar dari para orang tua
tidak keberatan untuk menderita atau meninggal demi keturunannya, walau
perkecualian pasti ada. Begitu pula dengan orang-orang yang melakukan pekerjaan
sukarela di Salvation Army, Word Vision, Palang Merah, Green Peace dan NGO
(Non-Governmental Organization) bisa dikatakan termasuk mereka yang memiliki
Generativity ini.
Banyak psikolog melakukan riset mengapa orang
melakukan karya altruistik (berderma atau menolong sesama) yang seringkali
tidak menghasilkan apapun bagi mereka kecuali kerugian materi, waktu dan
tenaga. Sampai kini para psikolog ini belum menemukan jawaban yang pasti dan
diterima semua orang. Kalau Erikson benar, maka kita melakukan hal yang
altruistik bukan karena kita menginginkan balasan tapi karena pertumbuhan
psikologis kita menimbulkan kasih pada sesama. Kita mungkin melakukan hal-hal
yang altruistik karena kita mengharapkan dunia yang lebih baik di masa depan
yang akan menjadi masa depan anak-anak kita.
Stagnasi adalah lawan dari generativity yakni
terbatasnya kepedulian kita pada diri kita, tidak ada rasa peduli pada orang
lain. Orang- orang yang mengalami stagnasi tidak lagi produktif untuk
masyarakat karena mereka tidak bisa melihat hal lain selain apakah hal itu
menguntungkan diri mereka seketika. Kita tahu banyak contoh orang yang setelah
berusia setengah baya mulai menanyakan ke mana impian mereka yang lalu, apa
yang telah mereka lakukan dan apakah hidup mereka ada artinya. Beberapa orang
yang merasa gagal dan tidak lagi punya harapan untuk mencapai impian mereka,
pada saat-saat ini berusaha untuk merengkuh masa-masa yang bagi mereka terlewat
sia-sia.
h.
Integrity vs Despair (Integritas dan Kekecewaan).
ð Periode
Perkembangan : masa akhir dewasa (60 tahunan).
Masa untuk
melihat kembali apa yang telah kita lakukan dalam kehidupan kita, harapan
positif.
Masa ini dimulai sekitar usia 60, ketika seseorang
mulai meninggalkan masa-masa aktif di masyarakat dan bersiap untuk hidup lebih
menyendiri. Sangat berbeda dengan rata-rata orang yang ketakutan dengan
datangnya usia tua, maka bagi Erikson, ini adalah masa yang sama pentingnya
dengan fase-fase sebelumnya. Bahkan, masa ini mungkin masa yang paling penting
karena ini adalah masa terakhir di mana kita harus bersiap untuk meninggalkan
dunia ini. Tugas kita saat ini adalah mengembangkan "ego integrity",
Integritas Diri, suatu rasa harga diri untuk tidak takut mati karena telah
melalui hidup sekian lama. Lawan dari rasa integritas diri ini adalah Despair
atau rasa putus asa. Orang-orang yang putus asa pada masa usia lanjut ini
ditandai dengan meluapnya rasa jijik pada diri mereka sendiri, terhadap
kegagalan mereka, cara mereka menyia-nyiakan hidup. Orang-orang ini seringkali
penuh amarah pada mereka yang juga gagal, menganggap itu hasil kebodohan
Orang-orang itu sendiri. Namun juga marah dan iri pada yang berhasil. Intinya,
sebagian besar Orang-orang ini putus asa dan memandang hidup dengan negatif.
Kenapa putus asa? Sebab masa-masa ini memang penuh
dengan hal-hal yang membuat kita bisa sengsara secara emosional. Fisik yang
makin melemah membuat banyak orang lanjut usia makin tergantung pada orang
lain. Celakanya ketergantungan ini dibarengi oleh berkurangnya kemampuan cari
uang dan menurunnya manfaat bagi orang lain. Wanita mengalami hal khusus dengan
datangnya menopause, dan banyak yang melihat datangnya meno ini sebagai masa
pintu gerbang menuju masa tua yang dipenuhi oleh penyakit-penyakit seperti
kanker payudara, kanker rahim dan osteoporosis. Lelaki yang hidup dari respek
orang sekeliling sebagai pencari uang kini hilang kemampuan cari uangnya
padahal keinginan direspek makin besar dan menggebu-gebu.
Lalu, teman dan saudara mulai menghilang, ada yang
meninggal, ada yang pindah diboyong keluarganya ke tempat lain dan ada yang
levelnya sudah ganti (jadi jauh lebih kaya atau jauh lebih miskin) sehingga
menjadi sulit berhubungan lagi. Yang paling berat, adalah memory dan regret.
Sangat jarang ada orang tua yang tidak menyesali masa lalunya, masa di mana
mereka seharusnya melakukan hal yang seharusnya. Rata-rata mereka berharap
melakukan hal-hal yang kini akhirnya berdampak buruk seperti bersekolah lebih
giat, tidak berteman dengan si A, lebih sayang pada anak atau menantunya, dll.
Yang dahsyat dari kenangan ini adalah bahwa mereka tidak punya kesempatan untuk
memperbaiki sehingga ada penyesalan tapi tidak ada pengobatan.
Mereka yang berhasil mengembangkan Ego Integrity, masih memiliki penyesalan
tetapi mereka telah berdamai dengan masa lalu, menerima bahwa ada hal yang bisa
mereka lakukan dengan lebih baik, dan ada hal yang mereka telah lakukan sebaik
mungkin, dilihat dari konteks saat itu. Dan mereka ini siap apabila harus
meninggal. Kalau mereka yang "Despair" atau putus asa ini memiliki
rasa "Disdain" atau jijik pada hidup, maka mereka yang putus asa ini
menginginkan keluarganya berhasil supaya tidak seperti dia. Tetapi caranya agak
cenderung memaksa, memarahi dan menyesali sehingga membuat orang-orang di
dekatnya kebingungan melayaninya karena melakukan kesalahan terus.
B. HUBUNGAN PERKEMBANGAN ANAK DENGAN PENDIDIKAN
Membicarakan tentang perkembangan
anak, para pakar berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa anak dalam
perkembangannya itu dipengaruhi oleh faktor dari dalam, yaitu faktor yang telah
di bawah sejak lahir (Schopen Houwer dan Jean Jaques Rousseau). Tetapi para
pakar yang lain, mengatakan bahwa perkembangan itu dipengaruhi oleh faktor luar
(John Locke). Beliau mengatakan bahwa anak yang baru lahir bagaikan kertas
putih yang kosong yang terkenal dengan tabularasa. Hal senada juga terungkap
dalam hadits yang artinya “setiap manusia itu dilahirkan dengan fitrah (suci),
maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Majusi dan Nasrani”.
Dari kedua pendapat itu, saya
kira, sama-sama menentukan dalam perkembangan anak. Tetapi walaupun demikian
masih kita temui banyak anak yang cenderung tumbuh dengan dominasi faktor dalam
saja atau sebaliknya. Hal itu terjadi karena proses didikannya kurang tepat.
Sehingga ada ahli yang mengatakan “you can take boy out off the country, but
you can’t take country out off the boy”. Tetapi dalam makalah ini saya akan
membahas faktor luarnya saja.
Faktor luar adalah segala sesuatu
yang berada di luar anak itu sendiri yaitu lingkungannya atau milieu. Sejak
baru dilahirkan, seorang anak berkontak langsung dengan lingkungan. seperti
ibunya, masyarakat dan lama kelamaan ia akan berbaur dengan dunia yang lebih
luas. Seorang anak mulai bisa menyerap apa-apa yang sedang terjadi
dilingkungannya. Secara tidak terasa, Lingkungan akan memberikan pendidikan
yang banyak pada anak, hanya saja kita tidak menyadari tentang hal itu. Sering
kita dengar, bahwa ada orang Madura misalnya, ketika ia hidup diluar daerah
Madura, maka ia sesekali akan menampakkan prilaku yang pernah ia serap
dilingkungan asalnya. Karena ia sudah di didik oleh lingkungan Madura.
Itulah pengaruh pendidikan yang
sangat urgen bagi perkembangan anak.
Dalam memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak, lingkungan ada yang sengaja diadakan (usaha sadar) ada yang tidak usaha sadar dari orang dewasa normatif yang disebut pendidikan, sedang yang lain disebut pengaruh. Lingkungan yang dengan sengaja diciptakan untuk mempengaruhi anak ada 3, yaitu : Lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Ketiga lingkungan ini disebut lembaga pendidikan atau satuan pendidikan.
Dalam memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak, lingkungan ada yang sengaja diadakan (usaha sadar) ada yang tidak usaha sadar dari orang dewasa normatif yang disebut pendidikan, sedang yang lain disebut pengaruh. Lingkungan yang dengan sengaja diciptakan untuk mempengaruhi anak ada 3, yaitu : Lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Ketiga lingkungan ini disebut lembaga pendidikan atau satuan pendidikan.
A.
Pendidikan Keluarga
Sebenarnya, anak ketika masih berada
dalam kandungan, ia sudah dapat merasakan apa yang terjadi pada orang tuanya.
Pada waktu itu pula, ia mulai menyerap pendidikan. Sehingga bagi umat islam
ketika hamil dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an. Ketika seorang bayi lahir maka
langsung dihadapkan dengan realita yang pada akhirnya realita itu akan mencetak
karakter anak itu sendiri (character building). Keluarga adalah lingkungan
pertama bagi anak. Disinilah pertama kali ia mengenal nilai dan norma. Karena
itu keluarga merupakan pendidikan tertua, yang bersifat informal dan kodrati.
Pendidikan dilingkungan keluarga berfungsi untuk memberikan dasar dalam
menumbuh kembangkan anak sebagai makhluk individu, sosial, susila dan religius.
Merupakan pengalaman pertama bagi masa kanak-kanak, pengalaman ini merupakan
faktor yang sangat penting bagi perkembangna berikutnya, khususnya dalam
perkembangn pribadinya. Kehidupan keluarga sangat penting, sebab pengalaman
masa kanak-kanak akan memberi warna pada perkembangan berikutnya. Banyak orang
mengatakan kepada seorang anak “kamu mirip sekali dengan orang bapak atau
ibunya.” Bahkan ada pribahasa yanng menerangkan “buah jatuh tidak jauh dari
pohonnya”. Pribahasa ini mempunyai persepsi bahwa prilaku anak itu merupakan
bawaan dari orang tuanya, tetapi selain sifat bawaan itu anak juga akan
memotret prilaku orang tuanya, dimana orang tuanya tidak menyadari kalau
prilakunya direkam oleh anaknya. Disitulah peran orang tua untuk memberikan
teladan yang baik.
Pendidikan dilingkungan keluarga
dapat menjamin kehidupan emosional anak untuk tumbuh dan berkembang, kehidupan
emosional ini sangat penting dalam pembentukan pribadi anak. Hubungan emosional
yang kurang dan berlebihan akan banyak merugikan perkembangan anak.
Didalam keluarga akan terbentuk pendidikan moral. Keteladanan orang tua didalam bertutur kata dan berprilaku sehari-hari akan menjadi wahana pendidikan moral bagi anak didalam keluarga tersebut, guna membentuk manusia susila.
Didalam keluarga akan terbentuk pendidikan moral. Keteladanan orang tua didalam bertutur kata dan berprilaku sehari-hari akan menjadi wahana pendidikan moral bagi anak didalam keluarga tersebut, guna membentuk manusia susila.
B.
Pendidikan Masyarakat
Ketika seseorang terus-menerus
berkontak dengan lingkungan masyarakat, maka anak itu akan diwarisi sikap dan
pola prilaku yang sesuai dengan lingkungannya itu. Walaupun tidak semua anak
akan mengikuti keadaan lingkungannya secara keseluruhan. Salah satu contohnya
adalah anak desa pada akhirnya akan cenderung menajadi petani. Sedangkan orang
kota karena lingkungannya terus menerus berkolaborasi dengan bermacam kegiatan
maka profesi anak kota bermacam-macam. Masyarakat adalah salah satu lingkungan
pendidikan yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi seseorang.
Pandangan hidup, cita-cita bangsa, sosial budaya dan perkembangan ilmu
pengetahuan akan mewarnai keadaan masyarakat tersebut. Masyarakat mempunyai
peranan yang penting dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
C.
Pendidikan Sekolah
Anak yang sedang berkembang
memerlukan bantuan dari manusia dewasa untuk memahami lingkungan sekitarnya dan
menguasai keterampilan-keterampilan tertentu, agar menjadi manusia sebagai
pribadi seutuhnya. Untuk membentuk anak sebagai pribadi yang utuh tidak cukup
hanya dalam lingkungan keluarga dan sosialnya, tetapi tempat khusus yang mampu
memberikan bantuan secara terarah, bertujuan, dan sistematis, berupa institusi
pendidikan formal yang disebut ”sekolah”. Sekolah merupakan tempat belajar yang
terencana dan terorganisasi, yang melibatkan kegiatan proses belajar mengajar
dengan tujuan menghasilkan perubahan-perubahan positif dalam diri anak.
Fokus pendidikan di sekolah
adalah membantu anak yang sedang berkembang dalam semua aspek. Dalam perspektif
perkembangan masa hidup, Santrock (2004) mendefinisikan perkembangan sebagai
pola gerakan kompleks atau perubahan yang dimulai dari pembuahan dan terus
berlanjut sepanjang siklus kehidupan manusia. Pola gerakan kompleks ini
disebabkan oleh interaksi yang terus menerus dari proses biologis, kognitif dan
sosioemosional.
Anak
yang sedang berkembang memerlukan bantuan dari manusia dewasa untuk memahami
lingkungan sekitarnya dan menguasai keterampilan-keterampilan tertentu, agar
menjadi manusia sebagai pribadi seutuhnya. Untuk membentuk anak sebagai pribadi
yang utuh tidak cukup hanya dalam lingkungan keluarga dan sosialnya, tetapi
tempat khusus yang mampu memberikan bantuan secara terarah, bertujuan, dan
sistematis, berupa institusi pendidikan formal yang disebut ”sekolah”. Sekolah
merupakan tempat belajar yang terencana dan terorganisasi, yang melibatkan
kegiatan proses belajar mengajar dengan tujuan menghasilkan perubahan-perubahan
positif dalam
C. HUBUNGAN PERKEMBANGAN ANAK DENGAN
PENGASUHAN
Bayi yang baru
lahir memerlukan awal yang baik untuk memulai pertumbuhan dan perkembangannya.
Hidupnya setelah lahir tentu saja tidak senyaman ketika dia di dalam rahim.
Oleh karenanya lingkungan terdekat yang nyaman baginya akan membantunya
memenuhi kebutuhannya. Keluarga merupakan lingkungan terdekat yang pertama
ditemukan oleh bayi. Interaksi dan pengalaman yang dibangun bayi bersama ibu,
ayah, dan saudara-saudaranya merupakan awal dari sebuah proses sosialisasi
sepanjang hidupnya (Santrock, 1983; Brisbane, 1965).
Pada masa bayi,
ibu merupakan orang yang paling potensial mempengaruhi perkembangan anak secara
emosi. Satu-satunya bahasa yang dikenal bayi pada minggu-minggu pertama
kelahirannya adalah kontak fisik yang diperoleh bersama ibunya atau pengaruh
lainnya. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi perkembangan emosional
bayi adalah kualitas hubungan yang dibangun antara bayi dengan orang
tua/pengasuhnya. Kualitas hubungan ini akan menjadi optimal bila setiap waktu
yang dihabiskan orang tua dengan bayinya merupakan waktu yang menyenangkan bagi
keduanya. Jika dalam keseharian, hubungan antara orang tua dengan anak diwarnai
dengan ketidakbahagiaan dan ketidaksetujuan maka anak akan sulit untuk
mengembangkan kepercayaan diri dan kepribadiannya (Brisbane, 1965).
Pengasuhan,
perhatian, dan hubungan yang dibangun dengan penuh kasih sayang akan
mempercepat perkembangan emosional dan kesehatan mental bayi. Ketika hubungan
dengan bayi dan anak-anak dibangun dengan penuh kebaikan dan penghargaan, maka
bayi akan berkembang dengan perasaan aman dan emosi yang merasa terlindungi.
Pengasuhan melalui pembinaan hubungan (relationship) menyediakan “dasar yang
aman” sehingga anak bisa memulai mengeksplorasi dunia dengan jaminan rasa
aman. Semakin banyak hal baru yang dieksplorasi, semakin sukses pengalaman yang
diperoleh bayi. Pengasuhan melalui pembinaan hubungan dengan penuh kasih sayang
ini akan membuat bayi merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan senantiasa
merasa berharga. Selain itu, pengasuhan ini akan mengajarkan anak untuk
memperlakukan orang lain di lingkungannya dengan baik. Perlu disadari bahwa
bayi dan anak-anak meniru apa yang dilakukan orang dewasa di sekitarnya,
menyimpannya dalam memori dan suatu saat akan melakukan hal yang sama dengan
orang dewasa tersebut. Bayi yang diperlakukan dengan penuh cinta kasih akan
tumbuh menjadi seseorang yang peduli dengan orang lain (Osofsky, 2004).
Dalam membangun
hubungan ini, mungkin ada komunikasi yang tidak terucapkan antara sang bayi
dengan ibunya. Emosional sang bayi terlihat sebagai sebuah refleksi dari apa yang
diberikan ibunya. Jika ibu merasa tenang, relaks, dan bahagia maka bayi pun
akan merasa lebih berarti dan aman. Meskipun kelihatannya tidak terlalu penting
mempertimbangkan bagaimana membangun komunikasi yang spesifik dengan bayi,
seorang ibu yang percaya diri akan memeluk bayi di dalam lengannya, memegangnya
dengan kuat, dan mengajaknya berbicara dengan suara yang lembut. Jika bayi
merasa hangat dan nyaman, ketika lapar segera diberi ASI/makanannya, diajak
berbicara ketika bangun tidur maka dia akan merasa nyaman dan akan terbangun
trust di dalam dirinya. Trust terbentuk ketika kasih sayang dan kebutuhan bayi
dapat bertemu(Brisbane, 1965).
Kasih sayang
pengasuh (dalam hal ini ibu) bertemu dengan kebutuhan bayi, salah satunya
adalah ketika ibu menyusui sang bayi. Ketika menyusui, bukan hanya kontak fisik
yang terjadi antara ibu dengan bayinya. Saat-saat tersebut juga memberikan
kesempatan kepada ibu untuk mengajaknya berkomunikasi melalui suara-suara yang
lembut dan menggendongnya dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Sehingga
bayi akan merasa nyaman. Selama ini manfaat menyusui memang lebih ditekankan pada
manfaat nutrisi yang terkandung di dalamnya, dan mungkin bagi sebagian ibu
hanya dianggap sebagai pemenuhan kewajiban ketika waktu makan bayi telah tiba.
Tidak banyak ibu yang menyadari bahwa ketika menyusui, ibu mempunyai kesempatan
untuk berinteraksi dengan anak dan menunjukkan bahwa keberadaan sang bayi
sangat berarti bagi lingkungannya.
D.
IMPLIKASI TAHAP
PERKEMBANGAN ANAK TERHADAP PENDIDIKAN
Manusia pada umumnya
berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya. Perkembangan tersebut dimulai
sejak masa konsepsi hingga akhir hayat. Ketika individu memasuki usia sekolah,
yakni antara tujuh sampai dengan dua belas tahun, individu dimaksud sudah dapat
disebut sebagai peserta didik yang akan berhubungan dengan proses pembelajaran
dalam suatu sistem pendidikan.
Cara
pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan tahapan per-kembangan anak,
yakni memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) programnya disusun secara
fleksibel dan tidak kaku serta memperhatikan perbedaan individual anak; (2)
tidak dilakukan secara monoton, tetapi disajikan secara variatif melalui banyak
aktivitas; dan (3) melibatkan penggunaan berbagai media dan sumber belajar
sehingga memungkinkan anak terlibat secara penuh dengan menggunakan berbagai
proses perkembangannya (Amin Budiamin, dkk., 2009:84).
Aspek-aspek perkembangan anak yang berimplikasi terhadap proses pendidikan
akan diuraikan seperti di bawah ini.
1. Implikasi
Perkembangan Biologis dan Perseptual
Secara fisik, anak pada usia sekolah dasar
memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan kondisi fisik sebelum dan
sesudahnya. Karakteristik perkembangan fisik ini perlu dipelajari dan dipahami
karena akan memiliki implikasi tertentu bagi penyelenggaraan pendidikan.
Menurut Budiamin, dkk. (2009:5) proses
perkembangan biologis atau perkembangan fisik mencakup perubahan-perubahan
dalam tubuh individu seperti pertumbuhan otak, otot, sistem syaraf, struktur
tulang, hormon, organ-organ inderawi, dan sejenisnya. Termasuk juga di dalamnya
perubahan dalam kemampuan fisik seperti perubahan dalam penglihatan, kekuatan
otot, dan lain-lain. Pemikiran tersebut menuntut perlunya suatu penyelenggaraan
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan fisik seperti yang
telah diungkapkan.
Dalam hal ini, Budiamin, dkk. (2009:84) juga
berpendapat bahwa diperlukan suatu cara pembelajaran yang “hidup”, dalam arti
memberikan banyak kesempatan kepada anak untuk
memfungsikan unsur-unsur fisiknya. Dengan kata lain, diperlukan suatu cara
pembelajaran yang bersifat langsung. Cara pembelajaran seperti ini tidak saja
akan memunculkan kegemaran belajar, tetapi juga akan memberikan banyak dampak
positif.
Anak usia sekolah dasar sudah lebih mampu
mengontrol tubuhnya daripada anak usia sebelumnya. Kondisi demikian membuat
anak SD dapat memberikan perhatian yang lebih lama terhadap kegiatan
pembelajaran yang sedang berlangsung. Namun, perlu diingat bahwa kondisi fisik
tersebut masih jauh dari matang dan masih terus berkembang. Fisik mereka masih
memerlukan banyak gerak untuk peningkatan keterampilan motorik dan memenuhi
kesenangan. Oleh karena itu, suatu prinsip praktek pendidikan yang penting bagi
anak usia sekolah dasar yaitu mereka harus terlibat dalam kegiatan aktif
daripada pasif.
Selanjutnya Budiamin, dkk. (2009:78)
mengemukakan bahwa perkembangan perseptual pada dasarnya merupakan proses
pengenalan individu terhadap lingkungan. Semua informasi tentang lingkungan
sampai kepada individu melalui alat-alat indera yang kemudian diteruskan
melalui syaraf sensori ke bagian otak. Informasi tentang objek penglihatan
diterima melalui mata, informasi tentang objek pendengaran diketahui melalui
telinga, objek sentuhan melalui kulit, dan objek penciuman melalui hidung.
Tanpa adanya alat-alat indera tersebut, otak manusia akan terasing dari dunia
yang ada di sekitarnya.
Kondisi perkembangan perseptual pun masih
mengalami penajaman dan penghalusan. Aspek-aspek perseptual ini akan berkembang
dengan baik jika dirangsang dan difungsikan melalui interaksi dengan
lingkungan. Pemenuhan kebutuhan tersebut tentunya tidak bisa dilakukan hanya
melalui pelajaran penjaskes yang mungkin hanya dilaksanakan seminggu sekali.
Seiring dengan perkembangan motorik anak terhadap
kegiatan pendidikan, Yusuf (2005:105) berpendapat bahwa pada anak sekolah dasar
kelas awal tepat sekali diajarkan tentang hal-hal berikut: (1) dasar-dasar
keterampilan menulis dan menggambar; (2) keterampilan berolahraga; (3)
gerakan-gerakan permainan seperti meloncat dan berlari; (4) baris-berbaris
secara sederhana untuk menanamkan kedisiplinan; serta (5) gerakan-gerakan
ibadah shalat.
Selanjutnya masih berkaitan dengan perkembangan
biologis dan perseptual anak usia sekolah dasar, Purwanto (2006:66) memaparkan
bahwa suatu keadaan yang berbeda akan menimbulkan reaksi yang berbeda pula pada
diri individu. Misalnya di dalam suatu kelas terdapat seorang anak yang
berambut pirang karena pembawaan dari orang tuanya. Ada kalanya rambut pirang
tersebut menimbulkan perasaan tidak puas atau perasaan rendah diri pada anak
itu karena merasa berbeda dengan teman-temannya. Akan tetapi, mungkin juga
rambut pirang itu akan menjadi suatu kebanggaan karena anak tersebut merasa
unik.
Di sinilah kita melihat bahwa perkembangan fisik
peserta didik memegang peranan yang penting terhadap pendidikan. Dengan
demikian, jelaslah bahwa perbedaan perkembangan fisik harus dihadapi dengan
cara yang tepat oleh para pendidik.
Meskipun tidak sepesat pada masa usia dini,
perkembangan biologis maupun perseptual anak terus berlangsung. Pemahaman
tentang karakteristik per-kembangan akhirnya membawa beberapa implikasi bagi
penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar. Implikasi-imlikasi dimaksud
khususnya berkenaan dengan penyelenggaraan pembelajaran secara umum,
pemeliharaan kesehatan dan nutrisi anak, pendidikan jasmani dan kesehatan,
serta penciptaan lingkungan dan pembiasaan berperilaku sehat.
2.
Implikasi Perkembangan Intelektual
Perkembangan intelektual erat kaitannya dengan
potensi otak manusia. Menurut Widiasmadi (2010:55), potensi otak manusia hanya
tampak delapan persen sebagai pikiran sadar, sedangkan sisanya 92 persen
disebut alam bawah sadar. Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa
potensi otak manusia yang berkaitan dengan perkembangan intelektual hanya
memuat delapan persen saja. Untuk itu, perkembangan intelektual pada peserta
didik perlu dikembangkan.
Proses perkembangan intelektual menurut pendapat
Budiamin, dkk. (2009:5) melibatkan perubahan dalam kemampuan dan pola berpikir,
kemahiran berbahasa, dan cara individu memperoleh pengetahuan dari
lingkungannya. Aktivitas-aktivitas seperti mengamati dan mengklasifikasikan
benda-benda, menyatukan beberapa kata menjadi satu kalimat, menghapal doa,
memecahkan soal-soal matematika, dan menceritakan pengalaman kepada orang lain
merupakan peran proses intelektual dalam perkembangan anak.
Teori Piaget banyak digunakan dalam praktik
pendidikan atau proses pembelajaran, meski teori ini bukanlah teori mengajar.
Piaget (Budiamin, dkk., 2009:108) berpandangan bahwa: (1) pembelajaran tidak
harus berpusat pada guru, tetapi berpusat pada peserta didik; (2) materi yang
dipelajari harus menantang dan menarik minat belajar peserta didik; (3)
pendidik dan peserta didik harus sama-sama terlibat dalam proses pembelajaran;
(4) urutan bahan dan metode pembelajaran harus menjadi perhatian utama, karena
akan sulit dipahami oleh peserta didik jika urutannya loncat-loncat; (5) guru
harus memperhatikan tahapan perkembangan kognitif peserta didik dalam melakukan
stimulasi pembelajaran; dan (6) pembelajaran hendaknya dibantu dengan
benda-benda konkret pada anak sekolah dasar kelas awal.
Pendapat lain mengatakan bahwa model pendidikan
yang aktif adalah model yang tidak menunggu sampai peserta didik siap sendiri.
Sekolah yang sebaiknya mengatur lingkungan belajar sedemikan rupa sehingga
dapat memberi kemungkinan maksimal pada peserta didik untuk berinteraksi dalam
proses pembelajaran. Dengan lingkungan yang penuh rangsangan untuk belajar,
proses pembelajaran aktif akan terjadi sehingga mampu membawa peserta didik
untuk maju ke tahap berikutnya. Dalam hal ini, pendidik hendaknya menyadari
bahwa perkembangan intelektual anak berada di tangannya (Pristanto, 2011).
Perkembangan intelektual pada anak usia sekolah dasar
sudah cukup untuk menjadi dasar diberikannya berbagai kecakapan yang dapat
mengembangkan pola pikir atau daya nalarnya. Perkembangan intelektual dan pengalaman belajar
anak sangat erat kaitannya. Perkembangan intelektual peserta didik akan
memfasilitasi kemampuan belajarnya. Peserta didik sudah dapat diberikan
dasar-dasar keilmuan, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Dalam
mengembangkan daya nalar, caranya dengan melatih peserta didik untuk
mengungkapkan pendapat, gagasan, atau penilaiannya terhadap berbagai hal.
Misalnya yang berkaitan dengan materi pelajaran, tata tertib sekolah, dan
sebagainya.
3. Implikasi
Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dengan
orang lain. Pada dasarnya bahasa sebagai alat komunikasi tidak hanya berupa
bicara, melainkan juga dapat diwujudkan dengan tanda isyarat tangan atau
anggota tubuh lainnya yang memiliki aturan sendiri.
Sangat luas sekali pengertian bahasa dalam menunjukkan suatu perkembangan.
Oleh karena itu, salah satu tokoh psikologi yaitu Wundt (Baradja, 2005:179)
mendasarkan teori bahasanya dengan aksioma paralel, yaitu gerakan-gerakan fisik
merupakan pernyataan gerakan-gerakan psikis. Dengan demikian, terdapat hubungan
yang paralel antara gejala batin dengan gejala luar. Apa yang terlihat dalam
raut wajah dan tingkah laku akan menunjukkan suatu kebutuhan psikologis
seseorang.
Menurut Yusuf (2005:118), bahasa sangat erat
kaitannya dengan perkembangan berpikir individu. Perkembangan pikiran individu
tampak dalam perkembangan bahasanya, yaitu kemampuan membentuk pengertian,
menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan. Yusuf pun menuturkan bahwa anak usia
sekolah dasar merupakan masa berkembang pesatnya kemampuan mengenal dan
menguasai perbendaharaan kata. Dengan dikuasainya keterampilan membaca dan
berkomunikasi dengan orang lain, anak sudah gemar membaca atau mendengarkan
cerita yang bersifat kritis (tentang petualangan, riwayat pahlawan, dan lain-lain).
Pada masa ini tingkat berpikir anak sudah lebih maju. Dia banyak menanyakan
soal waktu dan sebab akibat. Misalnya, kata tanya yang semula digunakan hanya
“apa”, sekarang sudah diikuti dengan pertanyaan “di mana”, “mengapa”,
“bagaimana”, dan sebagainya. Oleh sebab itu, pelajaran bahasa yang sengaja
diberikan di sekolah dasar dapat menambah perbendaharaan kata peserta didik,
melatih peserta didik menyusun struktur kalimat, peribahasa, kesusastraan, dan
keterampilan mengarang.
Selanjutnya masih berkaitan dengan bahasa,
Budiamin, dkk. (2009:111) memperkirakan sekitar 50 bahasa isyarat digunakan di
seluruh dunia. Penggunaan bahasa isyarat ini diduga mempengaruhi pemrosesan
informasi dan belajar.
Budiamin, dkk. (2009:117) kemudian memaparkan
implikasi perkembangan bahasa pada peserta didik. Lihat pula Depdikbud (1999:
147).
1. Apabila kegiatan pembelajaran yang diciptakan bersifat efektif, maka
perkembangan bahasa peserta didik dapat berjalan secara optimal. Sebaliknya
apabila kegiatan pembelajaran berjalan kurang efektif, maka dapat diprediksi
bahwa perkembangan bahasa peserta didik akan mengalami hambatan.
2. Bahasa adalah alat komunikasi yang paling
efektif dalam pergaulan sosial. Jika ingin menghasilkan pembelajaran yang
efektif untuk mendapatkan hasil pendidikan yang optimal, maka sangat diperlukan
bahasa yang komunikatif dan memungkinkan peserta didik yang terlibat dalam
interaksi pembelajaran dapat berperan secara aktif dan produktif.
3. Meskipun umumnya anak SD memiliki kemampuan potensial yang
berbeda-beda, namun pemberian lingkungan yang kondusif bagi perkembangan bahasa
sejak dini sangat diperlukan.
4.
Implikasi Perkembangan Kreativitas
Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai
kemampuan berpikir dan bersikap tentang sesuatu dengan cara yang baru dan tidak
biasa guna menghasilkan penyelesaian yang unik terhadap berbagai persoalan.
Menurut pendapat Galdner (Depdikbud, 1999:88),
kreativitas merupakan suatu aktivitas otak yang terorganisasikan, komprehensif,
dan imajinatif tinggi untuk menghasilkan sesuatu yang orisinil. Oleh karena
itu, kreativitas lebih dikatakan sebagai suatu yang lebih inovatif daripada
reproduktif.
Desmita dalam bukunya Psikologi Perkembangan (2008:176) memaparkan tentang perhatian para
psikolog dan kalangan dunia pendidikan terhadap kreativitas sebagai salah satu
aspek dari fungsi kognitif yang berperan dalam prestasi anak di sekolah, yang
bermula dari pidato Guilford tahun 1950. Guilford dalam pidatonya menegaskan
bahwa kreativitas perlu dikembangkan melalui jalur pendidikan guna
mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan seni.
Menyadari posisi strategis kreativitas dalam
kehidupan peserta didik, perlu dikemukakan berbagai upaya yang dapat mendukung
pengembangan kreativitas terhadap pendidikan. Namun dalam kenyataannya,
kreativitas bukanlah sesuatu yang diajarkan kepada peserta didik, melainkan
hanya memungkinkan untuk dapat dimunculkan.
Oleh sebab itu, Treffinger (Depdikbud, 1999:105)
mengemukakan sejumlah pengalaman belajar yang dapat dikembangkan oleh pendidik
agar mampu mendorong kreativitas peserta didik, khususnya dalam proses
pembelajaran. Hal tersebut antara lain guru diharapkan dapat menyajikan materi
pembelajaran, menyiapkan berbagai media, menggunakan pendekatan pembelajaran
yang memungkinkan posisi peserta didik sebagai subjek daripada objek
pembelajaran, serta mengadakan evaluasi yang tepat sehingga mampu mendukung
pengembangan kreativitas peserta didik.
5. Implikasi
Perkembangan Sosial
Manusia menurut pembawaannya adalah makhluk
sosial. Sejak dilahirkan, bayi sudah termasuk ke dalam masyarakat kecil yang
disebut keluarga. Ketika kecil, mulanya anak-anak hanya mempunyai hak saja. Di
dalam rumah tangga ia mempunyai hak untuk dipelihara dan dilindungi oleh orang
tuanya. Namun, lama-kelamaan keadaan itu berubah. Anak-anak yang pada mulanya
hanya mempunyai hak saja, berangsur-angsur mempunyai kewajiban.
Lingkungan sosial merupakan pengaruh luar yang
datang dari orang lain. Selain itu, yang termasuk lingkungan sosial ialah
pendidikan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pendidikan adalah
pengaruh-pengaruh yang disengaja dari anggota berbagai golongan tertentu,
seperti pengaruh ayah, nenek, paman, dan guru-guru.
Purwanto (2006:171) mengatakan bahwa tugas dan tujuan
pendidikan sosial adalah: (1) mengajar anak-anak yang hanya mempunyai hak saja,
menjadi manusia yang sadar akan kewajibannya terhadap bermacam-macam golongan
dalam masyarakat; dan (2) membiasakan anak-anak mematuhi dan memenuhi kewajiban
sebagai anggota masyarakat.
Dalam menjalani kehidupannya sebagai makhluk
sosial, senantiasa selalu tumbuh dalam diri seorang anak yang dimaksud dengan
perkembangan sosial.
Budiamin, dkk. (2009:123) berpandangan bahwa
perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial yang
erat kaitannya dengan pencapaian kemandirian. Sementara itu, Sunarto dan
Hartono (2006:143) berpendapat bahwa perkembangan sosial adalah berkembangnya
tingkat hubungan antarmanusia sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan hidup
manusia.
Senada dengan kedua pendapat di atas, Yusuf (2005:122)
mengemukakan bahwa perkembangan sosial merupakan proses belajar untuk
menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, tradisi, atau
meleburkan diri menjadi satu kesatuan yang saling berkomunikasi dan bekerja
sama. Anak
dilahirkan belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Untuk
mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan
diri dengan orang lain, termasuk dengan teman sebaya.
Berkat perkembangan social, seorang anak dapat
menyesuaikan diri dengan kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan
masyarakat sekitar. Dalam proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan
sosial ini dapat dimanfaatkan oleh pendidik dengan memberikan tugas-tugas
kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik maupun pikiran. Tugas-tugas
kelompok ini harus memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk
menunjukkan prestasinya, tetapi juga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama.
Dengan melaksanakan tugas kelompok, peserta didik dapat belajar tentang
kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati, dan bertanggung jawab.
Dilihat dari pemahaman terhadap aspek
perkembangan sosial pada peserta didik, terdapat beberapa implikasi menurut
Budiamin, dkk. (2009:128), yaitu: (1) untuk meningkatkan kemampuan peserta
didik dalam menyadari dan menghayati pengalaman sosialnya, dapat dilakukan
aktivitas-aktivitas bermain peran yang ditindaklanjuti dengan pembahasan di
antara mereka; (2) keberadaan teman sebaya bagi anak usia sekolah dasar
merupakan hal yang sangat berarti, bukan saja sebagai sumber kesenangan bagi
anak melainkan dapat membantu mengembangkan banyak aspek perkembangan anak. Ini
mengimplikasikan perlunya aktivitas-aktivitas pendidikan yang memberikan banyak
kesempatan kepada peserta didik untuk berdialog dengan sesamanya.
6. Implikasi Perkembangan Emosional
Emosi menurut Sarwono (Yusuf, 2005:115) merupakan
keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif, baik pada tingkat
lemah maupun pada tingkat yang luas. Baradja (2005:221) kemudian mengemukakan
beberapa contoh tentang pengaruh emosi terhadap perilaku individu dalam
pembelajaran, di antaranya: (1) memperkuat dan melemahkan semangat apabila
timbul rasa senang atau kecewa atas hasil belajar yang dicapai; (2) menghambat
konsentrasi belajar apabila sedang mengalami ketegangan emosi; (3) menggangu
penyesuaian sosial apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati; dan (4) suasana
emosional yang dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi sikapnya di
kemudian hari.
Demikian pula Hurlock (1978:211) mengungkapkan secara
jelas bahwa emosi mempengaruhi cara belajar anak, yaitu: (1) menyiapkan tubuh
untuk melakukan tindakan; (2) reaksi emosional apabila diulang-ulang akan
berkembang menjadi kebiasaan; (3) emosi merupakan suatu bentuk komunikasi; (4)
emosi mewarnai pandangan anak; dan (5) emosi dapat menggangu aktivitas
mental.
Pendapat lain mengungkapkan bahwa emosi
merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini
termasuk pula perilaku belajar. Emosi yang positif seperti perasaan senang,
bersemangat, atau rasa ingin tahu akan mempengaruhi individu untuk
berkonsentrasi terhadap aktivitas belajar, seperti memperhatikan penjelasan
guru, aktif dalam berdiskusi, mengerjakan tugas, dan sebagainya (Yusuf,
2005:181).
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Yusuf, dapat
diuraikan bahwa jika yang menyertai proses belajar itu emosi negatif seperti
perasaan tidak senang dan kecewa, maka proses belajar akan mengalami hambatan, dalam
arti peserta didik tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar sehingga
kemungkinan besar akan mengalami kegagalan dalam belajarnya.
Begitu pentingnya faktor perkembangan emosional
dalam menentukan keberhasilan belajar peserta didik, Desmita (2008:173)
mengutip pernyataan DePorter, Reardon, dan Singer-Nourie dalam buku mereka yang
sangat terkenal Quantum Teaching:
Orchestrating Student Success, yang menyarankan agar para pendidik memahami
emosi para siswa. Memperhatikan dan memahami emosi siswa dapat membantu
pendidik mempercepat proses pembelajaran yang lebih bermakna dan permanen.
Memperhatikan dan memahami emosi siswa berarti membangun ikatan emosional
dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, dan
menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar. Melalui kondisi belajar di
maksud, para siswa akan lebih ikut serta dalam kegiatan sukarela yang
berhubungan dengan bahan pelajaran.
7. Implikasi
Perkembangan Moral
Purwanto (2006:31) berpendapat, moral bukan
hanya memiliki arti bertingkah laku sopan santun, bertindak dengan lemah
lembut, dan berbakti kepada orang tua saja, melainkan lebih luas lagi dari itu.
Selalu berkata jujur, bertindak konsekuen, bertanggung jawab, cinta bangsa dan
sesama manusia, mengabdi kepada rakyat dan negara, berkemauan keras,
berperasaan halus, dan sebagainya, termasuk pula ke dalam moral yang perlu
dikembangkan dan ditanamkan dalam hati sanubari anak-anak.
Adapun perkembangan moral menurut Santrock yaitu
perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai hal yang seharusnya
dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Desmita,
2008:149).
Perkembangan moral anak dapat berlangsung
melalui beberapa cara, salah satunya melalui pendidikan langsung, seperti
diungkapkan oleh Yusuf (2005:134). Pendidikan langsung yaitu melalui penanaman
pengertian tentang tingkah laku yang benar-salah atau baik-buruk oleh orang tua
dan gurunya.
Selanjutnya masih menurut Yusuf (2005:182), pada usia
sekolah dasar anak sudah dapat mengikuti tuntutan dari orang tua atau
lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak dapat memahami alasan yang mendasari suatu bentuk
perilaku dengan konsep baik-buruk. Misalnya, dia memandang bahwa perbuatan
nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang tua merupakan suatu hal yang
buruk. Sedangkan perbuatan jujur, adil, dan sikap hormat kepada orang tua
merupakan suatu hal yang baik.
Selain pemaparan di atas, Piaget (Hurlock,
1980:163) memaparkan bahwa usia antara lima sampai dengan dua belas tahun
konsep anak mengenai moral sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras
tentang benar dan salah yang dipelajari dari orang tua, menjadi berubah dan
anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral.
Misalnya bagi anak usia lima tahun, berbohong selalu buruk. Sedangkan anak yang
lebih besar sadar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong dibenarkan. Oleh
karena itu, berbohong tidak selalu buruk.
Selain lingkungan keluarga, lingkungan
pendidikan juga menjadi wahana yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan
moral peserta didik. Untuk itu, sekolah diharapkan dapat berfungsi sebagai
kawasan yang sejuk untuk melakukan sosialisasi bagi anak-anak dalam
pengembangan moral dan segala aspek kepribadiannya. Pelaksanaan pendidikan
moral di kelas hendaknya dihubungkan dengan kehidupan yang ada di luar kelas.
Dengan demikian, pembinaan perkembangan moral peserta didik sangat penting
karena percuma saja jika mendidik anak-anak hanya untuk menjadi orang yang
berilmu pengetahuan, tetapi jiwa dan wataknya tidak dibangun dan dibina.
8. Implikasi
Perkembangan Spiritual
Anak-anak sebenarnya telah memiliki dasar-dasar
kemampuan spiritual yang dibawanya sejak lahir. Untuk mengembangkan kemampuan
ini, pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, untuk
melahirkan manusia yang ber-SQ tinggi dibutuhkan pendidikan yang tidak hanya
berorientasi pada perkembangan aspek IQ saja, melainkan EQ dan SQ juga.
Zohar dan Marshall (Desmita, 2008:174) pertama kali
meneliti secara ilmiah tentang kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yang menempatkan perilaku
dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Purwanto (2006:9) mengemukakan bahwa pendidikan
yang dilakukan terhadap manusia berbeda dengan “pendidikan” yang dilakukan
terhadap binatang. Menurutnya, pendidikan pada manusia tidak terletak pada
perkem-bangan biologis saja, yaitu yang berhubungan dengan perkembangan
jasmani. Akan tetapi, pendidikan pada manusia harus diperhitungkan pula
perkembangan rohaninya. Itulah kelebihan manusia yang diberikan oleh Allah
Swt., yaitu dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk mengenal
penciptanya, yang membedakan antara manusia dengan binatang. Fitrah ini
berkaitan dengan aspek spiritual.
Berkaitan dengan perkembangan spiritual yang
membawa banyak implikasi terhadap pendidikan, diharapkan muncul manusia yang
benar-benar utuh dari lembaga-lembaga pendidikan. Untuk itu, pendidikan agama
nampaknya harus tetap dipertahankan sebagai bagian penting dari program-program
pendidikan yang diberikan di sekolah dasar. Tanpa melalui pendidikan agama,
mustahil SQ dapat berkembang baik dalam diri peserta didik.
9. Implikasi
Perkembangan Karier
Salah satu aspek perkembangan anak usia sekolah
dasar yang perlu mendapat perhatian khusus adalah perkembangan karier. Menurut
Budiamin, dkk. (2009:154), karier adalah perjalanan hidup individu yang
bermakna melalui serangkaian kesuksesan. Disebutkan pula bahwa sesuatu bisa
disebut karier jika mengimplikasikan adanya: (1) pendidikan yang diwujudkan
dengan keahlian tertentu, (2) keberhasilan, (3) dedikasi atau komitmen, dan (4)
kebermaknaan personal dan finansial.
Mengenai pengembangan karier pada anak usia SD,
Parson (Budiamin, dkk., 2009:154) mengemukakan dua langkah pengambilan
keputusan karier. (1) perolehan pemahaman diri, yaitu pemahaman secara jelas
tentang sikap, prestasi, kemampuan, minat, nilai-nilai, dan kepribadian. Sejak
dini anak usia SD dibimbing untuk memahami hal-hal tersebut. Misalnya, anak usia
SD sudah mulai diajak mendiskusikan kelebihan dan kekurangan diri sendiri
dilihat dari prestasi belajarnya, diajak mendiskusikan minat-minatnya, dan
berbagai hal lain yang terkait dengan ciri-ciri dirinya; (2) memperoleh
pengetahuan tentang dunia kerja yang mencakup pengetahuan tentang informasi
tipe lapangan kerja.
Dalam memfasilitasi perkembangan karier anak
usia sekolah dasar, orang tua dan guru hendaknya mengenalkan bidang-bidang
karier yang ada, terutama yang dekat dengan lingkungan anak. Jika stimulasi
perkembangan karier dilakukan seperti ini, maka yang perlu ditekankan adalah
agar anak berpikir dan terdorong agar ingin menjadi orang yang berkarier.
Guna
menumbuhkan perasaan dan keyakinan mampu berkarya atau berprestasi, sekolah
perlu memberi peluang kepada peserta didik untuk meraih sukses dalam pengalaman
belajarnya, seperti memberikan alternatif pilihan kegiatan yang memungkinkan
anak untuk menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya (Depdikbud,
1999:192).
E.
IMPLIKASI TAHAP PERKEMBANGAN ANAK TERHADAP
PENGASUHAN
Tidak jarang
ditemui dalam masyarakat kita adanya pola asuh yang beragam oleh orang tua.
Perbedaan pola asuh orang tua ternyata dapat mempengaruhi perkembangan anak.
Dalam tulisan ini akan membahas lebih jauh mengenai faktor keluarga, terutama
orang tua, yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak terutama perkembangan
dalam prestasi anak.
Orang tua adalah
aktor utama yang berperan penting dalam perkembangan anak yang digejawantahkan
dalam bentuk pola pengasuhan orang tua. Menurut Steinberg, pengasuhan orang tua
memiliki dua komponen, yaitu gaya pengasuhan (parenting style) dan praktek
pengasuhan (parenting practices). Gaya pengasuhan didefinisikan sebagai
sekumpulan sikap yang dikomunikasikan kepada anak dimana perilaku orang tua
diekspresikan sehingga menciptakan suasana emosional. Santrock dalam bukunya
Educational Psychology (2011) menyinggung 4 macam parenting styles, yaitu
authoritative, authoritarian, neglectful, dan indulgent.
1.
Authoritative
Parenting
Orang tua yang
authoritative berperilku hangat namun tegas. Mereka mendorong anaknya menjadi
mandiri dan memiliki kebebasan namun tetap memberi batas dan kontrol pada
anaknya. Mereka memiliki standard namun juga memberi harapan yang disesuaikan
dengan perkembangan anak. Mereka menunjukkan kasih sayang, sabar mendengarkan
anaknya, mendukung keterlibatan anak dalam membuat keputusan keluarga, dan
menanamkan kebiasaan saling menghargai hak-hak orang tua dan anak. Hal ini
mampu memberi kesempatan kedua pihak (orang tua dan anak) untuk dapat
saling memahami satu sama lain dan menghasilkan keputusan yang dapat diterima
kedua pihak.
Kualitas
pengasuhan ini diyakini dapat lebih memicu keberanian, motivasi, dan
kemandirian. Pola asuh ini juga dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial,
meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggung jawab sosial. Mereka juga tumbuh
dengan baik, bahagia, penuh semangat, dan memiliki kemampuan pengendalian diri
sehingga mereka memiliki kematangan sosial dan moral, lincah bersosial,
adaptif, kreatif, tekun belajar di sekolah, serta mencapai prestasi belajar
yang tinggi. Pada intinya, orang tua yang menggunakan pola authoritative dapat
meningkatkan perasaan positif anak, memiliki kapabilitas untuk bertanggung
jawab, dan mandiri.
2.
Authoritarian
Parenting
Orang tua
authoritarian menuntut kepatuhan dan konformitas yang tinggi dari anak-anak.
Mereka lebih banyak menggunakan hukuman, batasan, kediktatoran, dan kaku.
Mereka memiliki standard yang dibuat sendiri baik dalam aturan, keputusan, dan
tuntutan yang harus ditaati anaknya. Bila dibandingkan dengan pola asuh
lainnya, orang tua authoritarian cenderung kurang hangat, tidak ramah, kurang
menerima, dan kurang mendukung kemauan anak, bahkan lebih suka melarang anaknya
mendapat otonomi ataupun terlibat dalam pembuatan keputusan.
Pengasuhan dengan
pola ini berpotensi memunculkan pemberontakan pada saat remaja, ketergantungan
anak pada orang tua, merasa cemas dalam pembandingan sosial, gagal dalam
aktivitas kreatif, dan tidak efektif dalam interaksi sosial. Ia juga cenderung
kehilangan kemampuan bereksplorasi, mengucilkan diri, frustasi, tidak berani
menghadapi tantangan, kurang berkeinginan mengetahui secara intelektual, kurang
percaya diri, serta tidak bahagia.
3.
Neglect
Parenting
Pola pengasuhan
ini disebut juga indifferent parenting. Dalam pola pengasuhan ini,
orang tua hanya menunjukkan sedikit komitmen dalam mengasuh anak, mereka hanya
memiliki sedikit waktu dan perhatian untuk anaknya. Akibatnya, mereka
menanggulangi tuntutan anak dengan memberikan apapun yang barang yang
diinginkan selama dapat diperoleh. Padahal hal tersebut tidak baik untuk jangka
panjang anaknya, misalnya terkait peran dalam pekerjaan rumah dan perilaku
sosial yang dapat diterima secara umum. Orang tua pola ini cenderung tidak tahu
banyak tentang aktivitas anaknya. Mereka jarang berbicang-bincang dan hampir
tidak mempedulikan pendapat anaknya dalam membuat keputusan.
Orang tua neglect
atau indifferent bisa saja menganiaya anaknya, menelantarkan anaknya, dan
mengabaikan kebutuhan maupun kesulitan anaknya. Minimnya kehangatan
dan pengawasan orang tua membuatnya terpisah secara emosional dengan anaknya
sehingga membuat anak minimal dalam segala aspek, baik kognisi, bermain,
kemampuan emosional dan sosial termasuk kedekatan/kelekatan pada orang lain.
Jika terus menerus terjadi, akan membuat anak berkemampuan rendah dalam
menolerir frustasi, pengendalian emosi, perilaku, dan prestasi sekolahnya pun
amat buruk. Ia sering kurang matang, kurang bertanggung jawab, lebih mudah
dihasut dan dibujuk teman sebayanya, serta kurang mampu menimbang posisinya.
4.
Indulgent
Parenting
Orang tua
indulgent atau permissive berperilaku highly involved pada
anaknya. Mereka cenderung menerima, lunak, dan lebih pasif dalam
kedisiplinan. Mereka mengumbar cinta kasih tetapi menempatkan sangat
sedikit tuntutan terhadap perilaku anak dan memberi kebebasan tinggi pada anak
untuk bertindak sesuai keinginannya. Terkadang orang tuanya mengizinkan ia
mengambil keputusn meski belum mampu melakukannya. Orang tua semacam ini
cenderung memanjakan anak, ia membiarkan anaknya mengganggu orang lain,
melindungi anak secara berlebihan, membiarkan kesalahan diperbuat anaknya,
menjauhkan anak dari paksaan, keharusan, hukuman, dan enggan meluruskan
penyimpangan perilaku anak.
Baumrind (dalam
Barus, 2003) menemukan bahwa anak yang menerima pola pengasuhan ini sangat
tidak matang dalam berbagai aspek psikososial. Mereka impulsive, tidak
patuh, menentang jika diminta sesuatu yang bertentangan dengan keinginan
sesaatnya, kurang tenggang rasa, dan kurang toleran dalam bersosialisasi.
Pemanjaan terhadap anak dapat menyuburkan keinginan ketergantungan dan
melemahkan dorongan untuk berprestasi. Thornburg (dalam Barus, 2003)
mengemukakan dua alasan mengapa anak yang diasuh dengan pola seperti ini tidak
dapat ditingkatkan perilaku tanggung jawabnya. Yaitu, (1) parents who are
permissive give little guidance or direction to their adolescents and (2)
adolescents do not tend to model the behavior of a parent in the permissive
home.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pola asuh orang tua begitu berpengaruh
terhadap kondisi perkembangan anak termasuk dalam prestasinya. Bila anak berada
dalam pengasuhan yang kondusif, maka anak akan terbantu dalam proses kematangan
perkembangan kognitif, afeksi, dan konasinya. Anak yang dibesarkan dari
keluarga authoritative lebih mapan secara psikososial dan lebih berprestasi
dibandingkan anak-anak yang dibesarkan dari keluarga authoritarian, neglect,
dan indulgent
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tiap-tiap perkembangan pada
individu memiliki tugasnya masing-masing dan dalam prosesnya sangat diperlukan
pendidikan dan pengasuhan yang baik. Pola asuh orang tua begitu berpengaruh
terhadap kondisi perkembangan anak termasuk dalam prestasinya. Mulusnya tugas
perkembangan pada diri seorang anak akan sangat mempengaruhi pendidikannya dan
begitu pula sebalikanya. Bila anak berada dalam pengasuhan yang kondusif, maka
anak akan terbantu dalam proses kematangan perkembangan kognitif, afeksi, dan
konasinya. Anak yang dibesarkan dari keluarga authoritative lebih mapan secara
psikososial dan lebih berprestasi dibandingkan anak-anak yang dibesarkan dari
keluarga authoritarian, neglect, dan indulgent
B. SARAN
Penulis telah berusaha semaksimal
mungkin dalam menyusun makalah ini, mulai dari pencarian materi, proses
perumusan pembahasan, sampai proses pengetikan, tentunya makalah ini belum
sempurna.
Dalam rangka proses pembelajaran
ke arah yang lebih baik, penulis mengharapkan kritik dan saran dari dosen
pembimbing beserta pembaca lainnya. Kritik dan saran dari pembaca akan penulis
jadikan sebagai perbaikan untuk kedepannya. Walaupun makalah ini belum
sempurna, penulis berharap semoga makalah ini berguna khususnya bagi penulis
sendiri dan umumnya bagi para pembaca makalah ini.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Chaplin, J.P. 2004. Kamus
Lengkap Psikologi. Jakarta : Rajawli Press
Santrock,
John W. 2002. Life- Span Development, Edisi 5 Jilid 1&2. Jakarta :
Erlangga.
Yusuf,
Syamsu. 2005. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung :
Rosdakarya.
Psikologi
Perkembangan Anak Usia Dinihttp://bidanku.com/index.php?/psikologi-perkembangan-anak-usia-dini#ixzz2Vp5QitpW
http://rahasiailmu.blogspot.com/2009/05/pendidikan-dan-perkembangan-anak.html