Jumat, 17 Oktober 2014

Hubungan Tahap Perkembangan Anak Serta Implikasinya Terhadap Pendidikan dan Pengasuhan Anak



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Perkembangan anak penting dijadikan perhatian khususnya bagi orangtua. Sebab, proses tumbuh kembang anak akan mempengaruhi kehidupan mereka pada masa mendatang.
Jika perkembangan anak luput dari perhatian orangtua (tanpa arahan dan pendampingan orangtua), maka anak akan tumbuh seadanya sesuai dengan yang hadir dan menghampiri mereka. Dan kelak, orangtua juga yang akan mengalami penyesalan yang mendalam.
Dampak negatif dari perkembangan anak yang kurang perhatian dari orang tuanya adalah anak menjadi nakal dan susah diatur. Dan dampak lain yang ditimbulkan adalah perusakan moral yang dialami anak yang kemungkinan diakibatkan dari salah bergaul dan berteman. Dan akhirnya, anak-anak inilah yang membawa dampak buruk bagi teman-temannya.
Salah satu perusakan atau penurunan moral yang dialami anak-anak pada saat ini adalah dengan melihat video yang seharusnya belum pantas ditonton pada usianya. Perilaku negatif ini juga disebabkan dari perkembangan teknologi khususnya internet. Yang akibatnya, akan menurunkan prestasi belajar anak disekolah. Di sinilah di perlukannya pendidikan dan pengasuhan yang memadai.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah tahap perkembangan anak?
2.      Bagaimana hubungan antara perkembangan anak dengan pendidikan dan pengasuhan?
3.      Lalu bagaimana pula implikasi tahap perkembangan anak terhadap pendidikan dan pengasuhan?

C.     Tujuan
Agar kita dapat mengetahui bagaimana atau apa-apa saja tahap perkembangan seorang anak, bagaimana hubungan perkembangan tersebut dengan pendidikan dan pengajaran serta bagaimana pula implikasinya.








BAB II
                                                              PEMBAHASAN

A.     TAHAP PERKEMBANGAN ANAK
Sangatlah tidak bisa dipisahkan mengenai perkembangan dan pertumbuhan anak saat lahir. Perkembangan motorik dan fisik anak sangatlah berhubungan dengan pertumbuhan psikis anak. Oleh karena itu psikologi perkembangan anak usia dini berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh.
Anak akan mengalami suatu periode yang dinamakan sebagai masa keemasan anak saat usia dini dimana saat itu anak akan sangat peka dan sensitif terhadap berbagai rangsangan dan pengaruh dari luar. Laju perkembangan dan pertumbuhan anak mempengaruhi masa keemasan dari masing-masing anak itu sendiri. Saat masa keemasan, anak akan mengalami tingkat perkembangan yang sangat drastis di mulai dari perkembangan berpikir, perkembangan emosi, perkembangan motorik, perkembangan fisik dan perkembangan sosial. Lonjakan perkembangan ini terjadi saat anak berusia 0-8 tahun, dan lonjakan perkembangan ini tidak akan terjadi lagi di periode selanjutnya. Saat perkembangan anak khususnya saat perkembangan dini, orang tua harus betul-betul menjadikannya sebagai perhatian khusus, karena hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak di masa yang akan datang.

1.      Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif anak terbagi ke dalam beberapa tahap:
  • Tahap Sensorimotor, pada tahap ini kemampuan anak hanya pada gerakan refleks, mulai mengembangkan kebiasaan-kebiasaan awal, mereproduksi berbagai kejadian yang menurutnya menarik, mulai menggunakan berbagai hal atau peralatan guna mencapai tujuannya, melakukan berbagai eksperimen dan anak sudah mulai menemukan berbagai cara baru. Tahap sensorimotor terjadi saat usia 0-2 tahun.
  • Tahapan Pra-operasional, pada tahap ini anak mulai menerima berbagai rangsangan yang masih terbatas, kemampuan bahasa anak mulai berkembang, meskipun pola pikirnya masih bersifat statis dan masih belum mampu untuk berpikir secara abstrak, persepsi mengenai waktu dan tempat masih tetap terbatas. Tahap pra-operasional berkembang saat usia anak 2-7 tahun.
  • Tahap Konkret Operasional, pada tahap ini anak sudah bisa menjalankan operasional dan berpikirnya mulai berpikir secara rasional. Dalam tahap ini tugas-tugas seperti menyusun, melipat, melakukan pemisahan, penggabungan, menderetkan dan membagi sudah dapat dilakukan oleh anak. Tahap konkret operasional berlangsung pada usia 7-11 tahun.
  • Tahap Formal Operasional, dalam tahap ini anak sudah mulai beranjak sebagai seorang remaja. Dalam tahap ini, anak sudah mulai berpikir secara hipotetik, yaitu penggunaan hipotesis yang relevan sudah dilakukan anak guna memecahkan berbagai masalah. Sudah mampu menampung atau berpikir terhadap hal-hal yang menggunakan prinsip-prinsip abstrak, sehingga anak sudah bisa menerima pelajaran-pelajaran yang bersifat abstrak seperti matematika, agama dan lain-lain.
2.      Perkembangan Fisik Motorik
Berkaitan dengan perkembangan fisik, Kuhlen dan Thomphson (Hurlock, 1956) mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek, yaitu (1) Sistem syaraf, yang sangat mempengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi; (2) Otot-otot, yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik; (3) Kelenjar endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti pada usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan yang sebagian anggotanya terdiri dari lawan jenis dan; (4) Struktur fisik/tubuh, yang meliputi tinggi, berat dan proporsi.
Aspek fisiologis lainnya yang sangat penting bagi kehidupan manusia adalah otak. Otak dapat dikatakan sebagai pusat sentral perkembangan dan fungsi kemanusiaan. Otak juga memiliki pengaruh baik dalam keterampilan motorik, intelektual, emosional, sosial, moral maupun kepribadian.
Semakin matangnya perkembangan sistem syaraf otak yang mengatur otot memungkinkan berkembangnya kompetensi atau keterampilan motorik anak. Keterampilan motorik dibagi menjadi dua jenis, yaitu (1) Keterampilan motorik halus, seperti keterampilan kecekatan jari, menulis, menggambar, menangkap bola dan sebagainya; (2) Keterampilan motorik kasar, meliputi kegiatan-kegiatan otot seperti berjalan, berlari, naik dan turun tangga, melompat dan sebagainya.
Perkembangan keterampilan motorik merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan pribadi secara keseluruhan.
3.      Perkembangan Bahasa
·         Periode prelingual, usia anak 0-1 tahun, ciri utama adalah anak mengoceh untuk dapat berkomunikasi dengan orang tua, anak masih bersifat pasif saat menerima stimulus dari luar tapi anak akan menerima respon yang berbeda. Contoh: bayi akan senyum kepada orang yang dikenalnya dan menangis kepada orang yang tidak dikenal dan ditakutinya.
·         Periode Lingual, usia antara 1-2,5 tahun, dalam tahap ini anak sudah mampu membuat sebuah kalimat, satu atau dua kata dalam percakapannya dengan orang lain.
·         Periode Diferensiasi, usia anak 2,5 - 5 tahun, anak sudah memiliki kemampuan bahasa sesuai dengan peraturan tata bahasa yang baik dan benar.  Permbendaharaan katanya sudah berkembang secara baik dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
4.      Perkembangan Sosio Emosional (Menurut Erik Erikson)
a.      Basic Trust vs Basic Mistrust (Kepercayaan vs Ketidakpercayaan)
ð   Periode Perkembangan : masa bayi (tahun pertama).
Ialah tahap Psikososial pertama menurut Erikson yang dialami dalam tahun pertama kehidupan. Suatu rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan sejumlah kecil ketakutan serta kekhawatiran akan masa depan. Peran orang tua sangat dibutuhkan untuk tanggap dan peka karena pada tahap ini, individu yang memiliki rasa percaya cenderung untuk memiliki rasa aman dan memiliki rasa percaya diri untuk mengeksplorasi lingkungan yang baru. Anak-anak yang memasuki sekolah dengan rasa tidak percaya dapat mempercayai guru tertentu yang meluangkan banyak waktu untuk membuat dirinya sebagai orang yang dapat dipercayai.
b.      Autonomy vs Shame and Doubt (Otonomi vs Rasa Malu dan Ragu-ragu)
ð  Periode Perkembangan : masa bayi (tahun kedua)
Setelah memperoleh kepercayaan diri pengasuh atau orangtua mereka, individu mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah milik mereka sendiri, menyadari kemauan mereka. Otonomi dibangun atas perkembangan kemampuan mental & motorik (otonomi = kemandirian).
Bila tahap ini terlalu banyak dibatasi atau dihukum terlalu keras, maka cenderung mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu. Pada usia ini, anak mencoba untuk mandiri yg secara fisik dimungkinkan oleh kemampuan mereka untuk berjalan, lari dan berkelana tanpa dibantu orang dewasa lagi. Dengan kebebasan ini, anak masuk dalam periode menjelajah/eksplorasi. Beberapa hal dapat dicapai dalam periode ini, seperti keberanian untuk menjelajah, insting untuk menentukan arah sendiri. Pokoknya pada periode inilah kemampuan anak untuk percaya diri dikembangkan.
c.       Initiative vs Guilt (Prakarsa vs Rasa Bersalah)
ð  Periode Perkembangan : masa awal anak-anak (tahun pertama pra-sekolah 3-5 tahun).
Ketika anak-anak sekolah menghadapi dunia sosial yang lebih luas, mereka lebih tertantang dan perlu mengembangkan perilaku yang bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini. Anak-anak belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum ia mampu berpikir mengenai apa yang sedang ia perbuat / intelegensi dasar dimiliki anak tersebut kelak. Pada tahap ini anak-anak belajar secara praktis dengan keterampilan-keterampilan perseptual, motorik, kognitif dan kemampuan bahasa yang mereka miliki untuk melakukan sesuatu.
Bagi Erikson, masa usia 3 sampai 6 tahun, ini adalah fase bermain. Dalam fase inilah anak-anak belajar berfantasi, belajar mentertawakan diri, mulai belajar bahwa ada pribadi lain selain dirinya. Pada fase ini terletak fondasi anak untuk menjadi kreatif yang akan menjadi sangat penting pada fase berikut. Pada saat yang sama, kalau pada fase sebelumnya, anak perlu menciptakan sense of identity sebagai seorang manusia dan kepercayaan untuk melakukan eksplorasi sendiri, maka pada fase ini yang harus diciptakan adalah identitas diri macam apa, terutama sehubungan dengan jenis kelamin mereka. Anak belajar menjadi lelaki atau perempuan bukan hanya dari alat kelamin tapi juga dari perlakuan sekeliling pada mereka. Fase inilah konon yg berperanan besar dalam menentukan identitas ini karena pengaruh kelamin mulai dirasakan secara psikologis: Anak lelaki menjadi lebih sayang pada ibu dan tidak begitu senang pada bapak sementara anak perempuan menjadi dekat dengan  bapak dan merasa disaingi ibu.
Apa yang bisa dilakukan orang tua untuk merusak fase ini? Salah satunya adalah dengan merampok masa bermain anak dengan menyuruh mereka belajar lebih dulu dari teman-teman seumur. Anak mulai didisiplinkan untuk menghafal angka, abjad dan menulis bagus supaya lebih pandai dari yg lain.
d.      Industry vs Inferiority (Tekun vs Rasa Rendah Diri)
ð  Periode Perkembangan : masa pertengahan dan akhir anak-anak (tahun-tahun sekolah, 6       tahun & pubertas).
Periode ini individu / anak berpikir intuisif / berpikir mengandalkan ilham, anak-anak berimajinasi memperoleh kemampuan 1 langkah berpikir mengkoordinasi pemikiran & idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri. System of Operations / 1 langkah berpikir merupakan dasar terbentuknya intelegensi intuitif. Erikson yakin guru mempunyai tanggung-jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak, guru secara lembut tetapi tegas memaksa anak-anak / individu ke dalam pencarian untuk menemukan bahwa seseorang dapat belajar mencapai sesuatu yang tidak ia pikirkan sendiri (perkembangan kognitif ditinjau dari sudut karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa).
Yang berbahaya pada tahap ini adalah perasaan tidak kompeten dan tidak produktif. Sama seperti binatang muda, sesudah merasa tenteram dekat mama-papa, maka pada saatnya mereka mulai pergi ke alam untuk mengenalnya secara instingtif. Manusia mudapun demikian. Apabila sampai sekitar 6 tahun anak-anak masih melakukan eksplorasi tentang diri sendiri, maka selewat usia itu anak secara instingtif mulai melihat ke luar dan perkembangannya mulai berhubungan dengan dunia luar. Pada usia 6 tahun, anak mulai ke dunia di luar rumah seperti, sekolah, tetangga. Dunia luar menjadi tempat untuk tumbuh, terutama karena pada saat inilah mereka baru benar-benar mulai mampu berkomunikasi dengan anak lain sehingga mereka mulai bisa membentuk kelompok. Pada masa-masa ini tidak ada hal relatif, yang ada hanyalah kemutlakan. Semua penjahat berbaju hitam dan berwajah kotor. Pahlawan berwajah bersih, dan bajunya terang. Kelompok saya adalah kelompok lelaki dan kami benci/tidak menerima perempuan (dan sebaliknya), orang dewasa selalu benar dan guru tahu segalanya. Pada usia ini anak-anak juga sangat tertarik untuk belajar, dan sangat sulit untuk berdiam diri.
Mereka belajar segala sesuatu, terutama yang berhubungan dengan fisik seperti olahraga, berlari, berenang, mengumpulkan segala sesuatu dan mengembara sampai ke batas yang disetujui. Anak-anak yang melalui fase ini dengan baik akhirnya akan memperoleh ganjaran dengan mendapatkan sense of mastery, suatu keyakinan bahwa mereka mampu menguasai masalah yg mereka hadapi. Syaratnya adalah bahwa orang-orang dewasa yg mereka hormati seperti orang tua harus mendukung kegiatan yg banyak ini karena dari dalam setiap anak memang ada keinginan untuk mengerti dan menguasai lingkungan mereka. Kesulitan bagi anak terjadi ketika ortu tidak mau repot dan cenderung melarang anak kemana-mana sehingga tidak terlalu merepotkannya. Orang tua yg terlalu lelah karena bekerja dan ingin anaknya diam, sopan dan tenang, juga merugikan pertumbuhan anaknya. Bila ini terjadi cukup lama sehingga anak memperoleh kebiasaan untuk nonton tv daripada mempelajari hal-hal di lingkungan mereka, maka anak-anak ini kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi mereka. Pada anak ini, sense of mastery diganti oleh rasa rendah diri (inferiority) yang sangat berdampak pada masa-masa yang akan datang. Anak-anak yang penuh rendah diri ini lebih sulit merasakan adanya kemampuan mereka untuk mengembangkan kompetensi dalam bidang yang penting. Orng tua yg sangat takut akan lingkungan yang tidak aman sering mengurung anak di rumah, dan memberikan TV, atau Play Station. Hal ini sangat disayangkan karena pada usia inilah anak paling siap untuk belajar secara aktif. Untuk orang tua semacam ini, sebaiknya membahas hal ini dengan guru anaknya karena sebenarnya pengaruh guru sangat besar pada masa-masa ini. Karena itu pula pilihan sekolah dasar sangat penting, bukan hanya karena bangunan dan fasilitasnya tapi juga harus melihat guru yg akan sangat mempengaruhi kompetensi yg tercipta.
e.       Ego-Identity vs Role Confusion (Identitas Diri vs Kekacauan Peran).
ð  Periode Perkembangan : Masa Remaja 12 - 18/20 tahun.
Pada tahap ini remaja atau individu dihadapkan pada temuan siapa mereka? Bagaimana mereka nantinya? Kemana tujuan mereka? Menuju dalam kehidupannya, penjajakan pilihan-pilihan alternatif terhadap peran karir merupakan hal penting.
Pada tahap ini remaja memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara serentak atau berurutan, 2 ragam kemampuan kognitif, yaitu:
a.       Kapasitas menggunakan hipotesis.
b.      Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, logis dan idealisitk (berpikir tentang pemikiran itu sendiri).
Anggapan dasar seorang remaja akan berpikir hipotesis yakni berpikir mengenai sesuatu khususnya dalam pemecahan masalah dengan menggunakan dasar yang relevan dengan lingkungan yang ia respon, memiliki perhatian ke masa depan, etika ideal, dsb.
Guru & orang tua mengetahui bahwa kecerdasan itu melibatkan interaksi aktif antara siswa dengan dunia disekitarnya. Oleh karenanya lingkungan siswa, seperti rumah tinggal, seyogyanya ditata sebaik-baiknya agar memberi efek positif terhadap perkembangan intelegensi anak. Terjadi proses asimilasi (info baru digabung dalam pengetahuan yang ada) yang merupakan pergolakan kognitif yang tajam. Sekolah sebagai pelatihan-pelatihan intelektual, mempertahankan orientasi-orientasinya pada hal yang komprehensif yang dirancang untuk melatih remaja secara intelektual seperti kejuruan & sosial, dalam perkembangan fisik, kognitif dan sosial orang tua dan guru harus terus memantau agar meningkatkan kemandirian remaja tertantang secara intelektual oleh tugas akademis dan menciptakan lingkungan yang positif bagi perkembangan sosial dan emosional sebagai sesuatu yang secara intrinsik penting dalam sekolah bagi remaja.
Fase ini sebenarnya adalah sumber utama Erikson sehingga dia tertarik untuk mengembangkan teori Perkembangan psikososisalnya. Tugas kita pada periode ini
mungkin adalah yang terpenting, yaitu puncak dari semua yang selama ini sudah kita lalui dan yang akan kita gunakan untuk "mengarungi bahtera hidup" yakni menciptakan Identitas Diri bagi kita. Kegagalan kita akan menciptakan kerancuan identitas atau peran. Apakah Identitas diri ini? Tak lain adalah mengenal siapa diri kita sesungguhnya dan bagaimana diri ini melebur dengan masyarakat di sekeliling kita.
Menciptakan Identitas Diri yang benar adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang kita kumpulkan sampai saat itu, dan menggabungkan semuanya menjadi suatu citradiri yang berguna bagi masyarakat. Apakah faktor terpenting supaya tercipta Identitas Diri yang sehat dan berguna bagi masyarakat ini? Salah satu faktor penting yang akan menentukan Identitas Diri ini adalah hadirnya Role Model di dalam masyarakat di mana kita hidup, yakni seseorang yang bisa dijadikan contoh.
Kehadiran orang tua, atau guru yang hebat, menjadi sangat penting. Faktor penting lainnya adalah adanya kejelasan bagaimana kita melangkah meninggalkan masa anak-anak menuju kedewasaan. Di suku Indian tertentu, anak dianggap dewasa setelah dia berhasil pergi ke padang rumput dan membawa pulang bulu elang, ekor kerbau atau tengkorak hyena. Di suku-suku Afrika, sunat adalah tanda bagi remaja lelaki yang sudah dianggap dewasa dan ternyata memang berguna secara fisik karena lebih "bersih". Remaja wanita di Afrikapun disunat, istilah modernnya adalah Female Genital Mutilation, walaupun manfaatnya bagi wanita kurang jelas. Intinya, yang penting ada suatu upacara yang dengan jelas menunjukkan pada umum bahwa anak sudah bukan anak lagi tetapi sudah menjadi dewasa dan dia dituntut untuk berlaku dewasa.
Identitas Diri bisa menjadi ekstrim bila para orang dewasa yang mengelilingi kita menekankan bahwa tidak ada kompromi untuk suatu hal, dan kita berakhir dengan menjadi fanatik. Yang paling sering difanatikkan adalah faktor agama atau etnik tertentu. Remaja fanatik tidak diizinkan melihat pilihan lain dan identitas dirinya dibanjiri oleh dominasi faktor ini.
Harus kita ingat bahwa remaja baru saja meninggalkan stage ke 4 di mana mereka tidak melihat adanya relatifitas, yang ada hanya kemutlakan. Mereka yang berhasil memperoleh Identitas Diri yang sehat mencapai suatu keadaan yang dinamai Fidelity oleh Erikson, yaitu suatu kelegaan karena kita mengenal siapa diri kita, tempat kita dalam masyarakat dan kontribusi macam apa yang kita bisa sumbangkan untuk masyarakat. Sebaliknya, mereka yang gagal memiliki suatu Identitas Diri akan gelisah karena tidak jelasnya identitas mereka. Orang-orang ini bisa menjadi "drifter", si pengembara, atau si penolak (mereka bisa menolak untuk punya identitas, menolak definisi masyarakat tentang anggota masyarakat dll) dan mereka hidup sendiri bahkan ketika ada di tengah masyarakat.
Parahnya adalah seringkali identitas kelik ini akan bertahan sampai kita tua karena citra diri dibangun berdasarkan definisi yang dibentuk oleh kelik.
f.        Intimacy vs Isolation (Keintiman vs Pengasingan)
ð  Periode Perkembangan : masa awal dewasa (18/19 - 30 tahun).
Individu menghadapi tugas perkembangan pembentukan relasi yang akrab dengan orang lain, Erikson menggambarkan keakraban sebagai penemuan diri sendiri, tanpa kehilangan diri sendiri pada orang lain. Pada periode ini, individu termotivasi untuk berhasil melalui perkembangan sosial.
Orang tua / guru memiliki implikasi penting pada kematangan mereka (kemandirian & kebebasan).
Perkembangan emosional, intelektual dan sosial. Pada usia ini, kita sudah bukan lagi anak-anak atau remaja, tetapi pemuda atau pemudi. Kita sudah dianggap dewasa dan kita dituntut untuk bertanggung jawab penuh atas segala keberhasilan dan kegagalan kita. Tugas kita pada periode ini adalah mengenal dan mengizinkan diri kita untuk mengenal orang lain secara sangat dekat, atau masuk ke hubungan yang intim sedang kegagalan kita akan membuat kita terisolasi atau mengisolasi diri dari sekeliling kita. Keintiman dapat terjadi karena kita telah mengenal diri kita dan merasa cukup aman dengan identitas diri yang kita miliki. Akibat dari rasa aman ini adalah mengizinkan orang lain untuk sharing dengan kita melalui hari-hari dan malam-malam kita, mengenal kelebihan dan kekurangan kita. Jadi, pada pokoknya Intimacy adalah hubungan dua orang yang sudah matang dan mengenal diri masing-masing dan menciptakan suatu kesatuan yang menghasilkan karya-karya yang lebih besar.
Kehidupan modern yang mewarnai kota-kota besar, seringkali tidak mengijinkan kita untuk menjalani masa pembentukan intimacy ini dengan baik. Mobilitas seperti sekolah ke luar negeri dari satu kota ke kota lain, penugasan dari kantor ke daerah-daerah dan perpindahan yang kita lakukan karena janji karir yang lebih baik, adalah hal-hal yang menyulitkan kita dalam menemukan orang yang tepat bagi kita untuk berintimacy. Akibatnya, sebagai ganti dari intimacy adalah hubungan yang sangat superficial, didasari bukan keinginan untuk menyatu dan menciptakan suatu hubungan yang sehat tapi hanya untuk menghilangkan kesepian.
g.      Generativity vs Stagnation (Perluasan vs Stagnasi).
ð  Periode Perkembangan : masa pertengahan dewasa (antara pertengahan 20-an tahun sampai 50-an).
 Memberikan asuhan, bimbingan pada anak-anak, individu generatif adalah seseorang yang mempelajari keahlian, mengembangkan warisan diri yang positif dan membimbing orang yang lebih muda.
Tugas kita dalam fase ini adalah mengembangkan keseimbangan antara generativity dan stagnasi. Generativity adalah rasa peduli yang sudah lebih dewasa dan luas daripada intimacy karena rasa kasih ini telah men"generalize" ke kelompok lain, terutama generasi selanjutnya. Bila dengan intimacy kita terlibat dalam hubungan di mana kita mengharapkan suatu timbal balik dari partner kita, maka dengan generativity kita tidak mengharapkan balasan. Misalnya saja, sebagian sangat besar dari para orang tua tidak keberatan untuk menderita atau meninggal demi keturunannya, walau perkecualian pasti ada. Begitu pula dengan orang-orang yang melakukan pekerjaan sukarela di Salvation Army, Word Vision, Palang Merah, Green Peace dan NGO (Non-Governmental Organization) bisa dikatakan termasuk mereka yang memiliki Generativity ini.
Banyak psikolog melakukan riset mengapa orang melakukan karya altruistik (berderma atau menolong sesama) yang seringkali tidak menghasilkan apapun bagi mereka kecuali kerugian materi, waktu dan tenaga. Sampai kini para psikolog ini belum menemukan jawaban yang pasti dan diterima semua orang. Kalau Erikson benar, maka kita melakukan hal yang altruistik bukan karena kita menginginkan balasan tapi karena pertumbuhan psikologis kita menimbulkan kasih pada sesama. Kita mungkin melakukan hal-hal yang altruistik karena kita mengharapkan dunia yang lebih baik di masa depan yang akan menjadi masa depan anak-anak kita.
Stagnasi adalah lawan dari generativity yakni terbatasnya kepedulian kita pada diri kita, tidak ada rasa peduli pada orang lain. Orang- orang yang mengalami stagnasi tidak lagi produktif untuk masyarakat karena mereka tidak bisa melihat hal lain selain apakah hal itu menguntungkan diri mereka seketika. Kita tahu banyak contoh orang yang setelah berusia setengah baya mulai menanyakan ke mana impian mereka yang lalu, apa yang telah mereka lakukan dan apakah hidup mereka ada artinya. Beberapa orang yang merasa gagal dan tidak lagi punya harapan untuk mencapai impian mereka, pada saat-saat ini berusaha untuk merengkuh masa-masa yang bagi mereka terlewat sia-sia.
h.      Integrity vs Despair (Integritas dan Kekecewaan).
ð  Periode Perkembangan : masa akhir dewasa (60 tahunan).
 Masa untuk melihat kembali apa yang telah kita lakukan dalam kehidupan kita, harapan positif.
Masa ini dimulai sekitar usia 60, ketika seseorang mulai meninggalkan masa-masa aktif di masyarakat dan bersiap untuk hidup lebih menyendiri. Sangat berbeda dengan rata-rata orang yang ketakutan dengan datangnya usia tua, maka bagi Erikson, ini adalah masa yang sama pentingnya dengan fase-fase sebelumnya. Bahkan, masa ini mungkin masa yang paling penting karena ini adalah masa terakhir di mana kita harus bersiap untuk meninggalkan dunia ini. Tugas kita saat ini adalah mengembangkan "ego integrity", Integritas Diri, suatu rasa harga diri untuk tidak takut mati karena telah melalui hidup sekian lama. Lawan dari rasa integritas diri ini adalah Despair atau rasa putus asa. Orang-orang yang putus asa pada masa usia lanjut ini ditandai dengan meluapnya rasa jijik pada diri mereka sendiri, terhadap kegagalan mereka, cara mereka menyia-nyiakan hidup. Orang-orang ini seringkali penuh amarah pada mereka yang juga gagal, menganggap itu hasil kebodohan Orang-orang itu sendiri. Namun juga marah dan iri pada yang berhasil. Intinya, sebagian besar Orang-orang ini putus asa dan memandang hidup dengan negatif.
Kenapa putus asa? Sebab masa-masa ini memang penuh dengan hal-hal yang membuat kita bisa sengsara secara emosional. Fisik yang makin melemah membuat banyak orang lanjut usia makin tergantung pada orang lain. Celakanya ketergantungan ini dibarengi oleh berkurangnya kemampuan cari uang dan menurunnya manfaat bagi orang lain. Wanita mengalami hal khusus dengan datangnya menopause, dan banyak yang melihat datangnya meno ini sebagai masa pintu gerbang menuju masa tua yang dipenuhi oleh penyakit-penyakit seperti kanker payudara, kanker rahim dan osteoporosis. Lelaki yang hidup dari respek orang sekeliling sebagai pencari uang kini hilang kemampuan cari uangnya padahal keinginan direspek makin besar dan menggebu-gebu.
Lalu, teman dan saudara mulai menghilang, ada yang meninggal, ada yang pindah diboyong keluarganya ke tempat lain dan ada yang levelnya sudah ganti (jadi jauh lebih kaya atau jauh lebih miskin) sehingga menjadi sulit berhubungan lagi. Yang paling berat, adalah memory dan regret. Sangat jarang ada orang tua yang tidak menyesali masa lalunya, masa di mana mereka seharusnya melakukan hal yang seharusnya. Rata-rata mereka berharap melakukan hal-hal yang kini akhirnya berdampak buruk seperti bersekolah lebih giat, tidak berteman dengan si A, lebih sayang pada anak atau menantunya, dll. Yang dahsyat dari kenangan ini adalah bahwa mereka tidak punya kesempatan untuk memperbaiki sehingga ada penyesalan tapi tidak ada pengobatan.
Mereka yang berhasil mengembangkan Ego Integrity, masih memiliki penyesalan tetapi mereka telah berdamai dengan masa lalu, menerima bahwa ada hal yang bisa mereka lakukan dengan lebih baik, dan ada hal yang mereka telah lakukan sebaik mungkin, dilihat dari konteks saat itu. Dan mereka ini siap apabila harus meninggal. Kalau mereka yang "Despair" atau putus asa ini memiliki rasa "Disdain" atau jijik pada hidup, maka mereka yang putus asa ini menginginkan keluarganya berhasil supaya tidak seperti dia. Tetapi caranya agak cenderung memaksa, memarahi dan menyesali sehingga membuat orang-orang di dekatnya kebingungan melayaninya karena melakukan kesalahan terus.

B.     HUBUNGAN PERKEMBANGAN ANAK DENGAN PENDIDIKAN
Membicarakan tentang perkembangan anak, para pakar berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa anak dalam perkembangannya itu dipengaruhi oleh faktor dari dalam, yaitu faktor yang telah di bawah sejak lahir (Schopen Houwer dan Jean Jaques Rousseau). Tetapi para pakar yang lain, mengatakan bahwa perkembangan itu dipengaruhi oleh faktor luar (John Locke). Beliau mengatakan bahwa anak yang baru lahir bagaikan kertas putih yang kosong yang terkenal dengan tabularasa. Hal senada juga terungkap dalam hadits yang artinya “setiap manusia itu dilahirkan dengan fitrah (suci), maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Majusi dan Nasrani”.
Dari kedua pendapat itu, saya kira, sama-sama menentukan dalam perkembangan anak. Tetapi walaupun demikian masih kita temui banyak anak yang cenderung tumbuh dengan dominasi faktor dalam saja atau sebaliknya. Hal itu terjadi karena proses didikannya kurang tepat. Sehingga ada ahli yang mengatakan “you can take boy out off the country, but you can’t take country out off the boy”. Tetapi dalam makalah ini saya akan membahas faktor luarnya saja.
Faktor luar adalah segala sesuatu yang berada di luar anak itu sendiri yaitu lingkungannya atau milieu. Sejak baru dilahirkan, seorang anak berkontak langsung dengan lingkungan. seperti ibunya, masyarakat dan lama kelamaan ia akan berbaur dengan dunia yang lebih luas. Seorang anak mulai bisa menyerap apa-apa yang sedang terjadi dilingkungannya. Secara tidak terasa, Lingkungan akan memberikan pendidikan yang banyak pada anak, hanya saja kita tidak menyadari tentang hal itu. Sering kita dengar, bahwa ada orang Madura misalnya, ketika ia hidup diluar daerah Madura, maka ia sesekali akan menampakkan prilaku yang pernah ia serap dilingkungan asalnya. Karena ia sudah di didik oleh lingkungan Madura.
Itulah pengaruh pendidikan yang sangat urgen bagi perkembangan anak.
Dalam memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak, lingkungan ada yang sengaja diadakan (usaha sadar) ada yang tidak usaha sadar dari orang dewasa normatif yang disebut pendidikan, sedang yang lain disebut pengaruh. Lingkungan yang dengan sengaja diciptakan untuk mempengaruhi anak ada 3, yaitu : Lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Ketiga lingkungan ini disebut lembaga pendidikan atau satuan pendidikan.

A. Pendidikan Keluarga
Sebenarnya, anak ketika masih berada dalam kandungan, ia sudah dapat merasakan apa yang terjadi pada orang tuanya. Pada waktu itu pula, ia mulai menyerap pendidikan. Sehingga bagi umat islam ketika hamil dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an. Ketika seorang bayi lahir maka langsung dihadapkan dengan realita yang pada akhirnya realita itu akan mencetak karakter anak itu sendiri (character building). Keluarga adalah lingkungan pertama bagi anak. Disinilah pertama kali ia mengenal nilai dan norma. Karena itu keluarga merupakan pendidikan tertua, yang bersifat informal dan kodrati. Pendidikan dilingkungan keluarga berfungsi untuk memberikan dasar dalam menumbuh kembangkan anak sebagai makhluk individu, sosial, susila dan religius. Merupakan pengalaman pertama bagi masa kanak-kanak, pengalaman ini merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangna berikutnya, khususnya dalam perkembangn pribadinya. Kehidupan keluarga sangat penting, sebab pengalaman masa kanak-kanak akan memberi warna pada perkembangan berikutnya. Banyak orang mengatakan kepada seorang anak “kamu mirip sekali dengan orang bapak atau ibunya.” Bahkan ada pribahasa yanng menerangkan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Pribahasa ini mempunyai persepsi bahwa prilaku anak itu merupakan bawaan dari orang tuanya, tetapi selain sifat bawaan itu anak juga akan memotret prilaku orang tuanya, dimana orang tuanya tidak menyadari kalau prilakunya direkam oleh anaknya. Disitulah peran orang tua untuk memberikan teladan yang baik.
Pendidikan dilingkungan keluarga dapat menjamin kehidupan emosional anak untuk tumbuh dan berkembang, kehidupan emosional ini sangat penting dalam pembentukan pribadi anak. Hubungan emosional yang kurang dan berlebihan akan banyak merugikan perkembangan anak.
Didalam keluarga akan terbentuk pendidikan moral. Keteladanan orang tua didalam bertutur kata dan berprilaku sehari-hari akan menjadi wahana pendidikan moral bagi anak didalam keluarga tersebut, guna membentuk manusia susila.

B. Pendidikan Masyarakat
Ketika seseorang terus-menerus berkontak dengan lingkungan masyarakat, maka anak itu akan diwarisi sikap dan pola prilaku yang sesuai dengan lingkungannya itu. Walaupun tidak semua anak akan mengikuti keadaan lingkungannya secara keseluruhan. Salah satu contohnya adalah anak desa pada akhirnya akan cenderung menajadi petani. Sedangkan orang kota karena lingkungannya terus menerus berkolaborasi dengan bermacam kegiatan maka profesi anak kota bermacam-macam. Masyarakat adalah salah satu lingkungan pendidikan yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi seseorang. Pandangan hidup, cita-cita bangsa, sosial budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan akan mewarnai keadaan masyarakat tersebut. Masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.

C. Pendidikan Sekolah
Anak yang sedang berkembang memerlukan bantuan dari manusia dewasa untuk memahami lingkungan sekitarnya dan menguasai keterampilan-keterampilan tertentu, agar menjadi manusia sebagai pribadi seutuhnya. Untuk membentuk anak sebagai pribadi yang utuh tidak cukup hanya dalam lingkungan keluarga dan sosialnya, tetapi tempat khusus yang mampu memberikan bantuan secara terarah, bertujuan, dan sistematis, berupa institusi pendidikan formal yang disebut ”sekolah”. Sekolah merupakan tempat belajar yang terencana dan terorganisasi, yang melibatkan kegiatan proses belajar mengajar dengan tujuan menghasilkan perubahan-perubahan positif dalam diri anak.
Fokus pendidikan di sekolah adalah membantu anak yang sedang berkembang dalam semua aspek. Dalam perspektif perkembangan masa hidup, Santrock (2004) mendefinisikan perkembangan sebagai pola gerakan kompleks atau perubahan yang dimulai dari pembuahan dan terus berlanjut sepanjang siklus kehidupan manusia. Pola gerakan kompleks ini disebabkan oleh interaksi yang terus menerus dari proses biologis, kognitif dan sosioemosional.
Anak yang sedang berkembang memerlukan bantuan dari manusia dewasa untuk memahami lingkungan sekitarnya dan menguasai keterampilan-keterampilan tertentu, agar menjadi manusia sebagai pribadi seutuhnya. Untuk membentuk anak sebagai pribadi yang utuh tidak cukup hanya dalam lingkungan keluarga dan sosialnya, tetapi tempat khusus yang mampu memberikan bantuan secara terarah, bertujuan, dan sistematis, berupa institusi pendidikan formal yang disebut ”sekolah”. Sekolah merupakan tempat belajar yang terencana dan terorganisasi, yang melibatkan kegiatan proses belajar mengajar dengan tujuan menghasilkan perubahan-perubahan positif dalam
C.     HUBUNGAN PERKEMBANGAN ANAK DENGAN PENGASUHAN
Bayi yang baru lahir memerlukan awal yang baik untuk memulai pertumbuhan dan perkembangannya. Hidupnya setelah lahir tentu saja tidak senyaman ketika dia di dalam rahim. Oleh karenanya lingkungan terdekat yang nyaman baginya akan membantunya memenuhi kebutuhannya. Keluarga merupakan lingkungan terdekat yang pertama ditemukan oleh bayi. Interaksi dan pengalaman yang dibangun bayi bersama ibu, ayah, dan saudara-saudaranya merupakan awal dari sebuah proses sosialisasi sepanjang hidupnya (Santrock, 1983; Brisbane, 1965).
Pada masa bayi, ibu merupakan orang yang paling potensial mempengaruhi perkembangan anak secara emosi. Satu-satunya bahasa yang dikenal bayi pada minggu-minggu pertama kelahirannya adalah kontak fisik yang diperoleh bersama ibunya atau pengaruh lainnya. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi perkembangan emosional bayi adalah kualitas hubungan yang dibangun antara bayi dengan orang tua/pengasuhnya. Kualitas hubungan ini akan menjadi optimal bila setiap waktu yang dihabiskan orang tua dengan bayinya merupakan waktu yang menyenangkan bagi keduanya. Jika dalam keseharian, hubungan antara orang tua dengan anak diwarnai dengan ketidakbahagiaan dan ketidaksetujuan maka anak akan sulit untuk mengembangkan kepercayaan diri dan kepribadiannya (Brisbane, 1965).
Pengasuhan, perhatian, dan hubungan yang dibangun dengan penuh kasih sayang akan mempercepat perkembangan emosional dan kesehatan mental bayi. Ketika hubungan dengan bayi dan anak-anak dibangun dengan penuh kebaikan dan penghargaan, maka bayi akan berkembang dengan perasaan aman dan emosi yang merasa terlindungi. Pengasuhan melalui pembinaan hubungan (relationship) menyediakan “dasar yang aman”  sehingga anak bisa memulai mengeksplorasi dunia dengan jaminan rasa aman. Semakin banyak hal baru yang dieksplorasi, semakin sukses pengalaman yang diperoleh bayi. Pengasuhan melalui pembinaan hubungan dengan penuh kasih sayang ini akan membuat bayi merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan senantiasa merasa berharga. Selain itu, pengasuhan ini akan mengajarkan anak untuk memperlakukan orang lain di lingkungannya dengan baik. Perlu disadari bahwa bayi dan anak-anak meniru apa yang dilakukan orang dewasa di sekitarnya, menyimpannya dalam memori dan suatu saat akan melakukan hal yang sama dengan orang dewasa tersebut. Bayi yang diperlakukan dengan penuh cinta kasih akan tumbuh menjadi seseorang yang peduli dengan orang lain (Osofsky, 2004).
Dalam membangun hubungan ini, mungkin ada komunikasi yang tidak terucapkan antara sang bayi dengan ibunya. Emosional sang bayi terlihat sebagai sebuah refleksi dari apa yang diberikan ibunya. Jika ibu merasa tenang, relaks, dan bahagia maka bayi pun akan merasa lebih berarti dan aman. Meskipun kelihatannya tidak terlalu penting mempertimbangkan bagaimana membangun komunikasi yang spesifik dengan bayi, seorang ibu yang percaya diri akan memeluk bayi di dalam lengannya, memegangnya dengan kuat, dan mengajaknya berbicara dengan suara yang lembut. Jika bayi merasa hangat dan nyaman, ketika lapar segera diberi ASI/makanannya, diajak berbicara ketika bangun tidur maka dia akan merasa nyaman dan akan terbangun trust di dalam dirinya. Trust terbentuk ketika kasih sayang dan kebutuhan bayi dapat bertemu(Brisbane, 1965).
Kasih sayang pengasuh (dalam hal ini ibu) bertemu dengan kebutuhan bayi, salah satunya adalah ketika ibu menyusui sang bayi. Ketika menyusui, bukan hanya kontak fisik yang terjadi antara ibu dengan bayinya. Saat-saat tersebut juga memberikan kesempatan kepada ibu untuk mengajaknya berkomunikasi melalui suara-suara yang lembut dan menggendongnya dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Sehingga bayi akan merasa nyaman. Selama ini manfaat menyusui memang lebih ditekankan pada manfaat nutrisi yang terkandung di dalamnya, dan mungkin bagi sebagian ibu hanya dianggap sebagai pemenuhan kewajiban ketika waktu makan bayi telah tiba. Tidak banyak ibu yang menyadari bahwa ketika menyusui, ibu mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan anak dan menunjukkan bahwa keberadaan sang bayi sangat berarti bagi lingkungannya.
D.     IMPLIKASI TAHAP PERKEMBANGAN ANAK TERHADAP PENDIDIKAN
      Manusia pada umumnya berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya. Perkembangan tersebut dimulai sejak masa konsepsi hingga akhir hayat. Ketika individu memasuki usia sekolah, yakni antara tujuh sampai dengan dua belas tahun, individu dimaksud sudah dapat disebut sebagai peserta didik yang akan berhubungan dengan proses pembelajaran dalam suatu sistem pendidikan.
      Cara pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan tahapan per-kembangan anak, yakni memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) programnya disusun secara fleksibel dan tidak kaku serta memperhatikan perbedaan individual anak; (2) tidak dilakukan secara monoton, tetapi disajikan secara variatif melalui banyak aktivitas; dan (3) melibatkan penggunaan berbagai media dan sumber belajar sehingga memungkinkan anak terlibat secara penuh dengan menggunakan berbagai proses perkembangannya (Amin Budiamin, dkk., 2009:84).
      Aspek-aspek perkembangan anak yang berimplikasi terhadap proses pendidikan akan diuraikan seperti di bawah ini.

1.    Implikasi Perkembangan Biologis dan Perseptual
Secara fisik, anak pada usia sekolah dasar memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan kondisi fisik sebelum dan sesudahnya. Karakteristik perkembangan fisik ini perlu dipelajari dan dipahami karena akan memiliki implikasi tertentu bagi penyelenggaraan pendidikan.
Menurut Budiamin, dkk. (2009:5) proses perkembangan biologis atau perkembangan fisik mencakup perubahan-perubahan dalam tubuh individu seperti pertumbuhan otak, otot, sistem syaraf, struktur tulang, hormon, organ-organ inderawi, dan sejenisnya. Termasuk juga di dalamnya perubahan dalam kemampuan fisik seperti perubahan dalam penglihatan, kekuatan otot, dan lain-lain. Pemikiran tersebut menuntut perlunya suatu penyelenggaraan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan fisik seperti yang telah diungkapkan.
Dalam hal ini, Budiamin, dkk. (2009:84) juga berpendapat bahwa diperlukan suatu cara pembelajaran yang “hidup”, dalam arti memberikan banyak kesempatan kepada anak untuk memfungsikan unsur-unsur fisiknya. Dengan kata lain, diperlukan suatu cara pembelajaran yang bersifat langsung. Cara pembelajaran seperti ini tidak saja akan memunculkan kegemaran belajar, tetapi juga akan memberikan banyak dampak positif.
Anak usia sekolah dasar sudah lebih mampu mengontrol tubuhnya daripada anak usia sebelumnya. Kondisi demikian membuat anak SD dapat memberikan perhatian yang lebih lama terhadap kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung. Namun, perlu diingat bahwa kondisi fisik tersebut masih jauh dari matang dan masih terus berkembang. Fisik mereka masih memerlukan banyak gerak untuk peningkatan keterampilan motorik dan memenuhi kesenangan. Oleh karena itu, suatu prinsip praktek pendidikan yang penting bagi anak usia sekolah dasar yaitu mereka harus terlibat dalam kegiatan aktif daripada pasif.
Selanjutnya Budiamin, dkk. (2009:78) mengemukakan bahwa perkembangan perseptual pada dasarnya merupakan proses pengenalan individu terhadap lingkungan. Semua informasi tentang lingkungan sampai kepada individu melalui alat-alat indera yang kemudian diteruskan melalui syaraf sensori ke bagian otak. Informasi tentang objek penglihatan diterima melalui mata, informasi tentang objek pendengaran diketahui melalui telinga, objek sentuhan melalui kulit, dan objek penciuman melalui hidung. Tanpa adanya alat-alat indera tersebut, otak manusia akan terasing dari dunia yang ada di sekitarnya.
Kondisi perkembangan perseptual pun masih mengalami penajaman dan penghalusan. Aspek-aspek perseptual ini akan berkembang dengan baik jika dirangsang dan difungsikan melalui interaksi dengan lingkungan. Pemenuhan kebutuhan tersebut tentunya tidak bisa dilakukan hanya melalui pelajaran penjaskes yang mungkin hanya dilaksanakan seminggu sekali.
Seiring dengan perkembangan motorik anak terhadap kegiatan pendidikan, Yusuf (2005:105) berpendapat bahwa pada anak sekolah dasar kelas awal tepat sekali diajarkan tentang hal-hal berikut: (1) dasar-dasar keterampilan menulis dan menggambar; (2) keterampilan berolahraga; (3) gerakan-gerakan permainan seperti meloncat dan berlari; (4) baris-berbaris secara sederhana untuk menanamkan kedisiplinan; serta (5) gerakan-gerakan ibadah shalat.
Selanjutnya masih berkaitan dengan perkembangan biologis dan perseptual anak usia sekolah dasar, Purwanto (2006:66) memaparkan bahwa suatu keadaan yang berbeda akan menimbulkan reaksi yang berbeda pula pada diri individu. Misalnya di dalam suatu kelas terdapat seorang anak yang berambut pirang karena pembawaan dari orang tuanya. Ada kalanya rambut pirang tersebut menimbulkan perasaan tidak puas atau perasaan rendah diri pada anak itu karena merasa berbeda dengan teman-temannya. Akan tetapi, mungkin juga rambut pirang itu akan menjadi suatu kebanggaan karena anak tersebut merasa unik.
Di sinilah kita melihat bahwa perkembangan fisik peserta didik memegang peranan yang penting terhadap pendidikan. Dengan demikian, jelaslah bahwa perbedaan perkembangan fisik harus dihadapi dengan cara yang tepat oleh para pendidik.   
Meskipun tidak sepesat pada masa usia dini, perkembangan biologis maupun perseptual anak terus berlangsung. Pemahaman tentang karakteristik per-kembangan akhirnya membawa beberapa implikasi bagi penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar. Implikasi-imlikasi dimaksud khususnya berkenaan dengan penyelenggaraan pembelajaran secara umum, pemeliharaan kesehatan dan nutrisi anak, pendidikan jasmani dan kesehatan, serta penciptaan lingkungan dan pembiasaan berperilaku sehat.
                                      
2.    Implikasi Perkembangan Intelektual
Perkembangan intelektual erat kaitannya dengan potensi otak manusia. Menurut Widiasmadi (2010:55), potensi otak manusia hanya tampak delapan persen sebagai pikiran sadar, sedangkan sisanya 92 persen disebut alam bawah sadar. Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa potensi otak manusia yang berkaitan dengan perkembangan intelektual hanya memuat delapan persen saja. Untuk itu, perkembangan intelektual pada peserta didik perlu dikembangkan.
Proses perkembangan intelektual menurut pendapat Budiamin, dkk. (2009:5) melibatkan perubahan dalam kemampuan dan pola berpikir, kemahiran berbahasa, dan cara individu memperoleh pengetahuan dari lingkungannya. Aktivitas-aktivitas seperti mengamati dan mengklasifikasikan benda-benda, menyatukan beberapa kata menjadi satu kalimat, menghapal doa, memecahkan soal-soal matematika, dan menceritakan pengalaman kepada orang lain merupakan peran proses intelektual dalam perkembangan anak.
Teori Piaget banyak digunakan dalam praktik pendidikan atau proses pembelajaran, meski teori ini bukanlah teori mengajar. Piaget (Budiamin, dkk., 2009:108) berpandangan bahwa: (1) pembelajaran tidak harus berpusat pada guru, tetapi berpusat pada peserta didik; (2) materi yang dipelajari harus menantang dan menarik minat belajar peserta didik; (3) pendidik dan peserta didik harus sama-sama terlibat dalam proses pembelajaran; (4) urutan bahan dan metode pembelajaran harus menjadi perhatian utama, karena akan sulit dipahami oleh peserta didik jika urutannya loncat-loncat; (5) guru harus memperhatikan tahapan perkembangan kognitif peserta didik dalam melakukan stimulasi pembelajaran; dan (6) pembelajaran hendaknya dibantu dengan benda-benda konkret pada anak sekolah dasar kelas awal.  
Pendapat lain mengatakan bahwa model pendidikan yang aktif adalah model yang tidak menunggu sampai peserta didik siap sendiri. Sekolah yang sebaiknya mengatur lingkungan belajar sedemikan rupa sehingga dapat memberi kemungkinan maksimal pada peserta didik untuk berinteraksi dalam proses pembelajaran. Dengan lingkungan yang penuh rangsangan untuk belajar, proses pembelajaran aktif akan terjadi sehingga mampu membawa peserta didik untuk maju ke tahap berikutnya. Dalam hal ini, pendidik hendaknya menyadari bahwa perkembangan intelektual anak berada di tangannya (Pristanto, 2011).
Perkembangan intelektual pada anak usia sekolah dasar sudah cukup untuk menjadi dasar diberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola pikir atau daya nalarnya. Perkembangan intelektual dan pengalaman belajar anak sangat erat kaitannya. Perkembangan intelektual peserta didik akan memfasilitasi kemampuan belajarnya. Peserta didik sudah dapat diberikan dasar-dasar keilmuan, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Dalam mengembangkan daya nalar, caranya dengan melatih peserta didik untuk mengungkapkan pendapat, gagasan, atau penilaiannya terhadap berbagai hal. Misalnya yang berkaitan dengan materi pelajaran, tata tertib sekolah, dan sebagainya.

3.    Implikasi Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Pada dasarnya bahasa sebagai alat komunikasi tidak hanya berupa bicara, melainkan juga dapat diwujudkan dengan tanda isyarat tangan atau anggota tubuh lainnya yang memiliki aturan sendiri.
Sangat luas sekali pengertian bahasa dalam menunjukkan suatu perkembangan. Oleh karena itu, salah satu tokoh psikologi yaitu Wundt (Baradja, 2005:179) mendasarkan teori bahasanya dengan aksioma paralel, yaitu gerakan-gerakan fisik merupakan pernyataan gerakan-gerakan psikis. Dengan demikian, terdapat hubungan yang paralel antara gejala batin dengan gejala luar. Apa yang terlihat dalam raut wajah dan tingkah laku akan menunjukkan suatu kebutuhan psikologis seseorang.
Menurut Yusuf (2005:118), bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan berpikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya, yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan. Yusuf pun menuturkan bahwa anak usia sekolah dasar merupakan masa berkembang pesatnya kemampuan mengenal dan menguasai perbendaharaan kata. Dengan dikuasainya keterampilan membaca dan berkomunikasi dengan orang lain, anak sudah gemar membaca atau mendengarkan cerita yang bersifat kritis (tentang petualangan, riwayat pahlawan, dan lain-lain). Pada masa ini tingkat berpikir anak sudah lebih maju. Dia banyak menanyakan soal waktu dan sebab akibat. Misalnya, kata tanya yang semula digunakan hanya “apa”, sekarang sudah diikuti dengan pertanyaan “di mana”, “mengapa”, “bagaimana”, dan sebagainya. Oleh sebab itu, pelajaran bahasa yang sengaja diberikan di sekolah dasar dapat menambah perbendaharaan kata peserta didik, melatih peserta didik menyusun struktur kalimat, peribahasa, kesusastraan, dan keterampilan mengarang.
Selanjutnya masih berkaitan dengan bahasa, Budiamin, dkk. (2009:111) memperkirakan sekitar 50 bahasa isyarat digunakan di seluruh dunia. Penggunaan bahasa isyarat ini diduga mempengaruhi pemrosesan informasi dan belajar.
Budiamin, dkk. (2009:117) kemudian memaparkan implikasi perkembangan bahasa pada peserta didik. Lihat pula Depdikbud (1999: 147).
1.  Apabila kegiatan pembelajaran yang diciptakan bersifat efektif, maka perkembangan bahasa peserta didik dapat berjalan secara optimal. Sebaliknya apabila kegiatan pembelajaran berjalan kurang efektif, maka dapat diprediksi bahwa perkembangan bahasa peserta didik akan mengalami hambatan.
2. Bahasa adalah alat komunikasi yang paling efektif dalam pergaulan sosial. Jika ingin menghasilkan pembelajaran yang efektif untuk mendapatkan hasil pendidikan yang optimal, maka sangat diperlukan bahasa yang komunikatif dan memungkinkan peserta didik yang terlibat dalam interaksi pembelajaran dapat berperan secara aktif dan produktif.
3.  Meskipun umumnya anak SD memiliki kemampuan potensial yang berbeda-beda, namun pemberian lingkungan yang kondusif bagi perkembangan bahasa sejak dini sangat diperlukan.

       4.    Implikasi Perkembangan Kreativitas
Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir dan bersikap tentang sesuatu dengan cara yang baru dan tidak biasa guna menghasilkan penyelesaian yang unik terhadap berbagai persoalan.
Menurut pendapat Galdner (Depdikbud, 1999:88), kreativitas merupakan suatu aktivitas otak yang terorganisasikan, komprehensif, dan imajinatif tinggi untuk menghasilkan sesuatu yang orisinil. Oleh karena itu, kreativitas lebih dikatakan sebagai suatu yang lebih inovatif daripada reproduktif.
Desmita dalam bukunya Psikologi Perkembangan (2008:176) memaparkan tentang perhatian para psikolog dan kalangan dunia pendidikan terhadap kreativitas sebagai salah satu aspek dari fungsi kognitif yang berperan dalam prestasi anak di sekolah, yang bermula dari pidato Guilford tahun 1950. Guilford dalam pidatonya menegaskan bahwa kreativitas perlu dikembangkan melalui jalur pendidikan guna mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan seni.
Menyadari posisi strategis kreativitas dalam kehidupan peserta didik, perlu dikemukakan berbagai upaya yang dapat mendukung pengembangan kreativitas terhadap pendidikan. Namun dalam kenyataannya, kreativitas bukanlah sesuatu yang diajarkan kepada peserta didik, melainkan hanya memungkinkan untuk dapat dimunculkan.
Oleh sebab itu, Treffinger (Depdikbud, 1999:105) mengemukakan sejumlah pengalaman belajar yang dapat dikembangkan oleh pendidik agar mampu mendorong kreativitas peserta didik, khususnya dalam proses pembelajaran. Hal tersebut antara lain guru diharapkan dapat menyajikan materi pembelajaran, menyiapkan berbagai media, menggunakan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan posisi peserta didik sebagai subjek daripada objek pembelajaran, serta mengadakan evaluasi yang tepat sehingga mampu mendukung pengembangan kreativitas peserta didik.

5.    Implikasi Perkembangan Sosial
Manusia menurut pembawaannya adalah makhluk sosial. Sejak dilahirkan, bayi sudah termasuk ke dalam masyarakat kecil yang disebut keluarga. Ketika kecil, mulanya anak-anak hanya mempunyai hak saja. Di dalam rumah tangga ia mempunyai hak untuk dipelihara dan dilindungi oleh orang tuanya. Namun, lama-kelamaan keadaan itu berubah. Anak-anak yang pada mulanya hanya mempunyai hak saja, berangsur-angsur mempunyai kewajiban.
Lingkungan sosial merupakan pengaruh luar yang datang dari orang lain. Selain itu, yang termasuk lingkungan sosial ialah pendidikan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pendidikan adalah pengaruh-pengaruh yang disengaja dari anggota berbagai golongan tertentu, seperti pengaruh ayah, nenek, paman, dan guru-guru.
Purwanto (2006:171) mengatakan bahwa tugas dan tujuan pendidikan sosial adalah: (1) mengajar anak-anak yang hanya mempunyai hak saja, menjadi manusia yang sadar akan kewajibannya terhadap bermacam-macam golongan dalam masyarakat; dan (2) membiasakan anak-anak mematuhi dan memenuhi kewajiban sebagai anggota masyarakat.
Dalam menjalani kehidupannya sebagai makhluk sosial, senantiasa selalu tumbuh dalam diri seorang anak yang dimaksud dengan perkembangan sosial.
Budiamin, dkk. (2009:123) berpandangan bahwa perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial yang erat kaitannya dengan pencapaian kemandirian. Sementara itu, Sunarto dan Hartono (2006:143) berpendapat bahwa perkembangan sosial adalah berkembangnya tingkat hubungan antarmanusia sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan hidup manusia.
Senada dengan kedua pendapat di atas, Yusuf (2005:122) mengemukakan bahwa perkembangan sosial merupakan proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, tradisi, atau meleburkan diri menjadi satu kesatuan yang saling berkomunikasi dan bekerja sama. Anak dilahirkan belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain, termasuk dengan teman sebaya.
Berkat perkembangan social, seorang anak dapat menyesuaikan diri dengan kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitar. Dalam proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan oleh pendidik dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik maupun pikiran. Tugas-tugas kelompok ini harus memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk menunjukkan prestasinya, tetapi juga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Dengan melaksanakan tugas kelompok, peserta didik dapat belajar tentang kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati, dan bertanggung jawab.
Dilihat dari pemahaman terhadap aspek perkembangan sosial pada peserta didik, terdapat beberapa implikasi menurut Budiamin, dkk. (2009:128), yaitu: (1) untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menyadari dan menghayati pengalaman sosialnya, dapat dilakukan aktivitas-aktivitas bermain peran yang ditindaklanjuti dengan pembahasan di antara mereka; (2) keberadaan teman sebaya bagi anak usia sekolah dasar merupakan hal yang sangat berarti, bukan saja sebagai sumber kesenangan bagi anak melainkan dapat membantu mengembangkan banyak aspek perkembangan anak. Ini mengimplikasikan perlunya aktivitas-aktivitas pendidikan yang memberikan banyak kesempatan kepada peserta didik untuk berdialog dengan sesamanya.

6.    Implikasi Perkembangan Emosional
Emosi menurut Sarwono (Yusuf, 2005:115) merupakan keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif, baik pada tingkat lemah maupun pada tingkat yang luas. Baradja (2005:221) kemudian mengemukakan beberapa contoh tentang pengaruh emosi terhadap perilaku individu dalam pembelajaran, di antaranya: (1) memperkuat dan melemahkan semangat apabila timbul rasa senang atau kecewa atas hasil belajar yang dicapai; (2) menghambat konsentrasi belajar apabila sedang mengalami ketegangan emosi; (3) menggangu penyesuaian sosial apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati; dan (4) suasana emosional yang dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi sikapnya di kemudian hari.
Demikian pula Hurlock (1978:211) mengungkapkan secara jelas bahwa emosi mempengaruhi cara belajar anak, yaitu: (1) menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan; (2) reaksi emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan; (3) emosi merupakan suatu bentuk komunikasi; (4) emosi mewarnai pandangan anak; dan (5) emosi dapat menggangu aktivitas mental.  
Pendapat lain mengungkapkan bahwa emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar. Emosi yang positif seperti perasaan senang, bersemangat, atau rasa ingin tahu akan mempengaruhi individu untuk berkonsentrasi terhadap aktivitas belajar, seperti memperhatikan penjelasan guru, aktif dalam berdiskusi, mengerjakan tugas, dan sebagainya (Yusuf, 2005:181).
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Yusuf, dapat diuraikan bahwa jika yang menyertai proses belajar itu emosi negatif seperti perasaan tidak senang dan kecewa, maka proses belajar akan mengalami hambatan, dalam arti peserta didik tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar sehingga kemungkinan besar akan mengalami kegagalan dalam belajarnya.
Begitu pentingnya faktor perkembangan emosional dalam menentukan keberhasilan belajar peserta didik, Desmita (2008:173) mengutip pernyataan DePorter, Reardon, dan Singer-Nourie dalam buku mereka yang sangat terkenal Quantum Teaching: Orchestrating Student Success, yang menyarankan agar para pendidik memahami emosi para siswa. Memperhatikan dan memahami emosi siswa dapat membantu pendidik mempercepat proses pembelajaran yang lebih bermakna dan permanen. Memperhatikan dan memahami emosi siswa berarti membangun ikatan emosional dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, dan menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar. Melalui kondisi belajar di maksud, para siswa akan lebih ikut serta dalam kegiatan sukarela yang berhubungan dengan bahan pelajaran.  

7.    Implikasi Perkembangan Moral
Purwanto (2006:31) berpendapat, moral bukan hanya memiliki arti bertingkah laku sopan santun, bertindak dengan lemah lembut, dan berbakti kepada orang tua saja, melainkan lebih luas lagi dari itu. Selalu berkata jujur, bertindak konsekuen, bertanggung jawab, cinta bangsa dan sesama manusia, mengabdi kepada rakyat dan negara, berkemauan keras, berperasaan halus, dan sebagainya, termasuk pula ke dalam moral yang perlu dikembangkan dan ditanamkan dalam hati sanubari anak-anak.
Adapun perkembangan moral menurut Santrock yaitu perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai hal yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Desmita, 2008:149).
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, salah satunya melalui pendidikan langsung, seperti diungkapkan oleh Yusuf (2005:134). Pendidikan langsung yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar-salah atau baik-buruk oleh orang tua dan gurunya.
Selanjutnya masih menurut Yusuf (2005:182), pada usia sekolah dasar anak sudah dapat mengikuti tuntutan dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak dapat memahami alasan yang mendasari suatu bentuk perilaku dengan konsep baik-buruk. Misalnya, dia memandang bahwa perbuatan nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang tua merupakan suatu hal yang buruk. Sedangkan perbuatan jujur, adil, dan sikap hormat kepada orang tua merupakan suatu hal yang baik.
Selain pemaparan di atas, Piaget (Hurlock, 1980:163) memaparkan bahwa usia antara lima sampai dengan dua belas tahun konsep anak mengenai moral sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras tentang benar dan salah yang dipelajari dari orang tua, menjadi berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral. Misalnya bagi anak usia lima tahun, berbohong selalu buruk. Sedangkan anak yang lebih besar sadar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong dibenarkan. Oleh karena itu, berbohong tidak selalu buruk.
Selain lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan juga menjadi wahana yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan moral peserta didik. Untuk itu, sekolah diharapkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang sejuk untuk melakukan sosialisasi bagi anak-anak dalam pengembangan moral dan segala aspek kepribadiannya. Pelaksanaan pendidikan moral di kelas hendaknya dihubungkan dengan kehidupan yang ada di luar kelas. Dengan demikian, pembinaan perkembangan moral peserta didik sangat penting karena percuma saja jika mendidik anak-anak hanya untuk menjadi orang yang berilmu pengetahuan, tetapi jiwa dan wataknya tidak dibangun dan dibina.

8.    Implikasi Perkembangan Spiritual
Anak-anak sebenarnya telah memiliki dasar-dasar kemampuan spiritual yang dibawanya sejak lahir. Untuk mengembangkan kemampuan ini, pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, untuk melahirkan manusia yang ber-SQ tinggi dibutuhkan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada perkembangan aspek IQ saja, melainkan EQ dan SQ juga.   
Zohar dan Marshall (Desmita, 2008:174) pertama kali meneliti secara ilmiah tentang kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yang menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Purwanto (2006:9) mengemukakan bahwa pendidikan yang dilakukan terhadap manusia berbeda dengan “pendidikan” yang dilakukan terhadap binatang. Menurutnya, pendidikan pada manusia tidak terletak pada perkem-bangan biologis saja, yaitu yang berhubungan dengan perkembangan jasmani. Akan tetapi, pendidikan pada manusia harus diperhitungkan pula perkembangan rohaninya. Itulah kelebihan manusia yang diberikan oleh Allah Swt., yaitu dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk mengenal penciptanya, yang membedakan antara manusia dengan binatang. Fitrah ini berkaitan dengan aspek spiritual.
Berkaitan dengan perkembangan spiritual yang membawa banyak implikasi terhadap pendidikan, diharapkan muncul manusia yang benar-benar utuh dari lembaga-lembaga pendidikan. Untuk itu, pendidikan agama nampaknya harus tetap dipertahankan sebagai bagian penting dari program-program pendidikan yang diberikan di sekolah dasar. Tanpa melalui pendidikan agama, mustahil SQ dapat berkembang baik dalam diri peserta didik.

9.    Implikasi Perkembangan Karier
Salah satu aspek perkembangan anak usia sekolah dasar yang perlu mendapat perhatian khusus adalah perkembangan karier. Menurut Budiamin, dkk. (2009:154), karier adalah perjalanan hidup individu yang bermakna melalui serangkaian kesuksesan. Disebutkan pula bahwa sesuatu bisa disebut karier jika mengimplikasikan adanya: (1) pendidikan yang diwujudkan dengan keahlian tertentu, (2) keberhasilan, (3) dedikasi atau komitmen, dan (4) kebermaknaan personal dan finansial.
Mengenai pengembangan karier pada anak usia SD, Parson (Budiamin, dkk., 2009:154) mengemukakan dua langkah pengambilan keputusan karier. (1) perolehan pemahaman diri, yaitu pemahaman secara jelas tentang sikap, prestasi, kemampuan, minat, nilai-nilai, dan kepribadian. Sejak dini anak usia SD dibimbing untuk memahami hal-hal tersebut. Misalnya, anak usia SD sudah mulai diajak mendiskusikan kelebihan dan kekurangan diri sendiri dilihat dari prestasi belajarnya, diajak mendiskusikan minat-minatnya, dan berbagai hal lain yang terkait dengan ciri-ciri dirinya; (2) memperoleh pengetahuan tentang dunia kerja yang mencakup pengetahuan tentang informasi tipe lapangan kerja.
Dalam memfasilitasi perkembangan karier anak usia sekolah dasar, orang tua dan guru hendaknya mengenalkan bidang-bidang karier yang ada, terutama yang dekat dengan lingkungan anak. Jika stimulasi perkembangan karier dilakukan seperti ini, maka yang perlu ditekankan adalah agar anak berpikir dan terdorong agar ingin menjadi orang yang berkarier.
Guna menumbuhkan perasaan dan keyakinan mampu berkarya atau berprestasi, sekolah perlu memberi peluang kepada peserta didik untuk meraih sukses dalam pengalaman belajarnya, seperti memberikan alternatif pilihan kegiatan yang memungkinkan anak untuk menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya (Depdikbud, 1999:192).

E.     IMPLIKASI TAHAP PERKEMBANGAN ANAK TERHADAP PENGASUHAN
Tidak jarang ditemui dalam masyarakat kita adanya pola asuh yang beragam oleh orang tua. Perbedaan pola asuh orang tua ternyata dapat mempengaruhi perkembangan anak. Dalam tulisan ini akan membahas lebih jauh mengenai faktor keluarga, terutama orang tua, yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak terutama perkembangan dalam prestasi anak.
Orang tua adalah aktor utama yang berperan penting dalam perkembangan anak yang digejawantahkan dalam bentuk pola pengasuhan orang tua. Menurut Steinberg, pengasuhan orang tua memiliki dua komponen, yaitu gaya pengasuhan (parenting style) dan praktek pengasuhan (parenting practices). Gaya pengasuhan didefinisikan sebagai sekumpulan sikap yang dikomunikasikan kepada anak dimana perilaku orang tua diekspresikan sehingga menciptakan suasana emosional. Santrock dalam bukunya Educational Psychology (2011) menyinggung 4 macam parenting styles, yaitu authoritative, authoritarian, neglectful, dan indulgent.
1.      Authoritative Parenting
Orang tua yang authoritative berperilku hangat namun tegas. Mereka mendorong anaknya menjadi mandiri dan memiliki kebebasan namun tetap memberi batas dan kontrol pada anaknya. Mereka memiliki standard namun juga memberi harapan yang disesuaikan dengan perkembangan anak. Mereka menunjukkan kasih sayang, sabar mendengarkan anaknya, mendukung keterlibatan anak dalam membuat keputusan keluarga, dan menanamkan kebiasaan saling menghargai hak-hak orang tua dan anak. Hal ini mampu  memberi kesempatan kedua pihak (orang tua dan anak) untuk dapat saling memahami satu sama lain dan menghasilkan keputusan yang dapat diterima kedua pihak.
Kualitas pengasuhan ini diyakini dapat lebih memicu  keberanian, motivasi, dan kemandirian. Pola asuh ini juga dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggung jawab sosial. Mereka juga tumbuh dengan baik, bahagia, penuh semangat, dan memiliki kemampuan pengendalian diri sehingga mereka memiliki kematangan sosial dan moral, lincah bersosial, adaptif, kreatif, tekun belajar di sekolah, serta mencapai prestasi belajar yang tinggi. Pada intinya, orang tua yang menggunakan pola authoritative dapat meningkatkan perasaan positif anak, memiliki kapabilitas untuk bertanggung jawab, dan  mandiri.
2.      Authoritarian Parenting
Orang tua authoritarian menuntut kepatuhan dan konformitas yang tinggi dari anak-anak. Mereka lebih banyak menggunakan hukuman, batasan, kediktatoran, dan kaku. Mereka memiliki standard yang dibuat sendiri baik dalam aturan, keputusan, dan tuntutan yang harus ditaati anaknya. Bila dibandingkan dengan pola asuh lainnya, orang tua authoritarian cenderung kurang hangat, tidak ramah, kurang menerima, dan kurang mendukung kemauan anak, bahkan lebih suka melarang anaknya mendapat otonomi ataupun terlibat dalam pembuatan keputusan.
Pengasuhan dengan pola ini berpotensi memunculkan pemberontakan pada saat remaja, ketergantungan anak pada orang tua, merasa cemas dalam pembandingan sosial, gagal dalam aktivitas kreatif, dan tidak efektif dalam interaksi sosial. Ia juga cenderung kehilangan kemampuan bereksplorasi, mengucilkan diri, frustasi, tidak berani menghadapi tantangan, kurang berkeinginan mengetahui secara intelektual, kurang percaya diri, serta tidak bahagia.
3.      Neglect Parenting
Pola pengasuhan ini disebut juga indifferent parenting. Dalam  pola pengasuhan  ini, orang tua hanya menunjukkan sedikit komitmen dalam mengasuh anak, mereka hanya memiliki sedikit waktu dan perhatian untuk anaknya. Akibatnya, mereka menanggulangi tuntutan anak dengan memberikan apapun yang barang yang diinginkan selama dapat diperoleh. Padahal hal tersebut tidak baik untuk jangka panjang anaknya, misalnya terkait peran dalam pekerjaan rumah dan perilaku sosial yang dapat diterima secara umum. Orang tua pola ini cenderung tidak tahu banyak tentang aktivitas anaknya. Mereka jarang berbicang-bincang dan hampir tidak mempedulikan pendapat anaknya dalam membuat keputusan.
Orang tua neglect atau indifferent bisa saja menganiaya anaknya, menelantarkan anaknya, dan mengabaikan  kebutuhan  maupun kesulitan anaknya. Minimnya kehangatan dan pengawasan orang tua membuatnya terpisah secara emosional dengan anaknya sehingga membuat anak minimal dalam segala aspek, baik kognisi, bermain, kemampuan emosional dan sosial termasuk kedekatan/kelekatan pada orang lain. Jika terus menerus terjadi, akan membuat anak berkemampuan rendah dalam menolerir frustasi, pengendalian emosi, perilaku, dan prestasi sekolahnya pun amat buruk. Ia sering kurang matang, kurang bertanggung jawab, lebih mudah dihasut dan dibujuk teman sebayanya, serta kurang mampu menimbang posisinya.
4.      Indulgent Parenting
Orang tua indulgent atau permissive berperilaku  highly  involved  pada anaknya. Mereka cenderung  menerima, lunak, dan lebih pasif dalam  kedisiplinan. Mereka mengumbar cinta kasih tetapi menempatkan sangat sedikit tuntutan terhadap perilaku anak dan memberi kebebasan tinggi pada anak untuk bertindak sesuai keinginannya. Terkadang orang tuanya mengizinkan ia mengambil keputusn meski belum mampu melakukannya. Orang tua semacam ini cenderung memanjakan anak, ia membiarkan anaknya mengganggu orang lain, melindungi anak secara berlebihan, membiarkan kesalahan diperbuat anaknya, menjauhkan anak dari paksaan, keharusan, hukuman, dan enggan  meluruskan  penyimpangan perilaku anak.
Baumrind (dalam Barus, 2003) menemukan bahwa anak yang menerima pola pengasuhan ini sangat tidak matang dalam berbagai aspek  psikososial. Mereka impulsive, tidak patuh, menentang jika diminta sesuatu yang bertentangan dengan keinginan sesaatnya, kurang tenggang rasa, dan kurang toleran dalam bersosialisasi. Pemanjaan terhadap anak dapat menyuburkan keinginan ketergantungan dan melemahkan dorongan untuk berprestasi. Thornburg (dalam Barus, 2003) mengemukakan dua alasan mengapa anak yang diasuh dengan pola seperti ini tidak dapat ditingkatkan perilaku tanggung jawabnya. Yaitu, (1) parents who are permissive give little guidance or direction to their adolescents and (2) adolescents do not tend to model the behavior of a parent in the permissive home.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pola asuh orang tua begitu berpengaruh terhadap kondisi perkembangan anak termasuk dalam prestasinya. Bila anak berada dalam pengasuhan yang kondusif, maka anak akan terbantu dalam proses kematangan perkembangan kognitif, afeksi, dan konasinya. Anak yang dibesarkan dari keluarga authoritative lebih mapan secara psikososial dan lebih berprestasi dibandingkan anak-anak yang dibesarkan dari keluarga authoritarian, neglect, dan indulgent

BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Tiap-tiap perkembangan pada individu memiliki tugasnya masing-masing dan dalam prosesnya sangat diperlukan pendidikan dan pengasuhan yang baik. Pola asuh orang tua begitu berpengaruh terhadap kondisi perkembangan anak termasuk dalam prestasinya. Mulusnya tugas perkembangan pada diri seorang anak akan sangat mempengaruhi pendidikannya dan begitu pula sebalikanya. Bila anak berada dalam pengasuhan yang kondusif, maka anak akan terbantu dalam proses kematangan perkembangan kognitif, afeksi, dan konasinya. Anak yang dibesarkan dari keluarga authoritative lebih mapan secara psikososial dan lebih berprestasi dibandingkan anak-anak yang dibesarkan dari keluarga authoritarian, neglect, dan indulgent

B.     SARAN
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun makalah ini, mulai dari pencarian materi, proses perumusan pembahasan, sampai proses pengetikan, tentunya makalah ini belum sempurna.
Dalam rangka proses pembelajaran ke arah yang lebih baik, penulis mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing beserta pembaca lainnya. Kritik dan saran dari pembaca akan penulis jadikan sebagai perbaikan untuk kedepannya. Walaupun makalah ini belum sempurna, penulis berharap semoga makalah ini berguna khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi para pembaca makalah ini.









DAFTAR KEPUSTAKAAN
Chaplin, J.P. 2004. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : Rajawli Press
Santrock, John W. 2002. Life- Span Development, Edisi 5 Jilid 1&2. Jakarta : Erlangga.
Yusuf, Syamsu. 2005. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Rosdakarya.
Psikologi Perkembangan Anak Usia Dinihttp://bidanku.com/index.php?/psikologi-perkembangan-anak-usia-dini#ixzz2Vp5QitpW
http://rahasiailmu.blogspot.com/2009/05/pendidikan-dan-perkembangan-anak.html